Waktu itu, matahari sudah mau pergi. Aku suka warnanya, kemerahan.
Dia masih berlama-lama, jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul lima lewat dua puluh menit.
Pikiranku terlalu kalut, yang ada hanya Bram dan Bram.
Sial, dari sekian banyak laki-laki dan aku masih saja berkutat mengenai Bram. Otakku ada yang tidak beres sepertinya.
"Matahari, aku tahu kamu sedang temani aku. Tapi aku mau kamu segera pamit. Dari tadi aku sudah ingin mengeluarkan air mata dan kau masih saja menggodaku."
Dru tak tahan lagi, dada yang semakin sesak, kesal yang semakin memuncak dan tangis yang sudah tak bisa dibendung.
Kata-kata Bram terus mengganggu pikiran Dru.
"Kamu tidak paham ya mauku. Aku sedang bermasalah."
Oke Bram. Aku paham, sangat paham. Betapa rendahnya aku di matamu. Betapa tidak pentingnya aku di hidupmu. Betapa tak bernilainya aku dalam keseharianmu.
Daun-daun pohon Palem berisik mengganggu konsentrasi Dru. Warnanya yang sudah tidak hijau lagi semakin mempertegas bahwa bukan saja matahari yang akan meninggalkan Dru, namun nyawa dari barisan daun palem yang sebentar lagi akan hilang tertiup angin.
"Dru, kami kurang apa berdoa pada Tuhan. Kami inginnya tetap di sini. Menaungi orang-orang yang sedang menunggu Bus lewat adalah keseharian kami yang paling kami suka. Apalagi saat angin sepoi-sepoi mengajak kami bermain, abang-abang pedagang kopi rebutan untuk duduk dekat kami, bagi mereka sapuan angin yang kami lakukan dapat membuat penat mereka segera hilang hanya dalam waktu sekejap."