Mohon tunggu...
Angga Septianto
Angga Septianto Mohon Tunggu... Lainnya - Blogger

Professional Commercial Person. A Moderate and Casual Stock Investor

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Tuntutan Sukses dan Validasi Semu

19 November 2021   09:54 Diperbarui: 19 November 2021   09:57 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di lingkungan sekitar kita berada, orang didorong dan dipaksa untuk sukses, entah dalam hal apapun. Pada masanya kita menghabiskan waktu selama 12 tahun untuk menyelesaikan pendidikan formal bagi kebanyakan orang, sedikitnya lagi hingga 16 tahun. Tujuannya apa? Agar bisa berkependidikan lalu bisa sukses dimasa depan. Kalau tidak berpendidikan? Dianggap tidak akan sukses dimasa depan.

Bukan hanya setelah berpendidikan kita dituntut sukses, bahkan selama proses menghabiskan waktu dalam menempuh pendidikan formal pun kita dipaksa harus sukses. Stereotype masyarakat yang menganggap bahwa ranking di sekolah menentukan sebuah kesuksesan bagi pelajar itu sendiri banyak terdapat sampai saat ini. Lantas, bagaimana kalau tidak mendapatkan ranking di sekolah? Kalau tidak mendapat ranking anak sering dianggap bodoh atau tidak bisa dibanggakan.

Pendidikan anak di sekolah yang sejatinya menjadi bekal penting bagi mereka untuk menggapai masa depan, dijadikan oleh orang tua dan lingkungannya sebagai alat validasi. Potret atau gambaran keberhasilan atau kegagalan orang tua dalam mendidik anak. Parahnya, hal tersebut terjadi dan berlangsung hingga saat ini.

Demikian pula hal tersebut berlanjut ketika seorang anak sudah berhasil menyelesaikan pendidikannya. Tuntutan untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji besar, perusahaan bonafit dan jabatan bagus menjadi tuntutan selanjutnya dari lingkungan sekitar. Jika tidak? Dianggap tidak sukses.

Tuntutan sukses beserta dengan gambaran-gambaran tentang kesuksesan di dalamnya sering kali dijadikan alat validasi bagi orang tua, pasangan atau lingkungan sekitar untuk membanggakan individu-individu tertentu. Akibatnya? Timbul kecenderungan bagi banyak individu untuk memamerkan atau menunjukan apapun yang dimiliki atau dikerjakan sebagai validasi dari kesuksesan itu sendiri.

Tidak jarang bahkan, hal-hal yang ditunjukan atau dipamerkan adalah hal-hal yang biasa saja bagi sebagian orang, namun dianggap hebat dan patut untuk ditunjukan dan dipamerkan sebagai bentuk validasi sebuah kesuksesan. Didukung oleh social media yang belakangan menjamur, orang-orang berlomba untuk membuktikan bahwa dirinya sukses dengan meng-expose atau menunjukan apapun yang dimiliki atau apapun yang sedang dikerjakan.

Dengan tingginya peer pressure atau tuntutan dari lingkungan sekitar yang ada, membuat makin banyak masyarakat yang terjebak dalam gaya hidup yang tidak sehat secara mental maupun fisik itu sendiri. Dengan peer pressure yang tinggi terhadap gambaran kesuksesan, orang-orang berlomba memaksakan medapatkan apapun bahkan yang diluar kemampuannya, serta memiliki kecenderungan untuk meng-expose apapun yang sedang dikerjakan dan dilakukan terlepas dari penting tidaknya, hanya untuk mendapatkan validasi dari lingkungan sekitar agar dapat dibilang sukses.

Tuntutan-tuntutan akan kesuksesan sedari kita kecil di lingkungan sekitar kita khususnya, menjadikan kita terbiasa dengan validasi-validasi semu atau palsu yang kita ciptakan sendiri hanya agar mendapat gambaran bahwa sejatinya kita telah sukses, namun yang terjadi sejatinya masih jauh dari itu. Kita mungkin hanya membohongi diri kita sendiri dan lingkungan sekitar dengan validasi-validasi atau pencapaian-pencapaian palsu mata kamera.

Ada cerita lucu dari orang tua dan keluarga teman saya yang ketika dia pulang kampung disaat lebaran dengan membawa mobil terbaru pabrikan Jerman, malah diminta untuk menukar bahkan menjual mobilnya dan menggantinya dengan mobil sejuta umat pabrikan Jepang, padahal harga dari mobil yang dimilikinya seharga 3 mobil yang dikeluarkan pabrikan Jepang tersebut, namun karena orang tua dan juga pandangan keluarganya, yang mana seseorang baru dianggap sukses jika sudah bisa pulang kampung dengan membawa mobil tersebut. Pada saat itu teman saya pun hanya bisa tertawa.

Kesalahan-kesalahan tentang definisi atau pun gambaran-gambaran tentang kesuksesan kadang membuat kita justru menjauhi kesuksesan itu sendiri. Menukarnya dengan validasi-validasi semu bahkan palsu serta bohong belaka. Padahal sesesungguhnya, kita tidak butuh dan tidak memiliki tanggungjawab untuk membuktikan kepada siapa pun bahwa kita telah sukses atau belum, karena kesuksesan tidak butuh validasi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun