Mohon tunggu...
Chyntia Pinky
Chyntia Pinky Mohon Tunggu... -

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Bagir Manan: Kekosongan Hukum Dapat Diisi dengan Hukum Negara Lain

13 Juli 2018   15:44 Diperbarui: 13 Juli 2018   16:36 4559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ius Curia Novit-Hakim tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara.

Peng-adil-an sejatinya merupakan benteng terakhir bagi para pencari keadilan disaat seluruh upaya penyelesaian sengketa yang berdasarkan pada musyawarah tidak mencapai kata mufakat. Hakim dalam puing-puing teori kedaulatan Tuhan yang hingga kini masih tersisa, dianggap sebagai wakil Tuhan di dunia untuk mewujudkan keadilan tersebut, sehingga hakim tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili suatu perkara. Bahkan jika suatu perkara tersebut tidak ada hukum yang mengaturnya sekalipun. Hal ini diatur dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Di Indonesia, peradilannya menganut sistem bahwa hakim merupakan corong undang-undang. Artinya hakim memutus suatu perkara berdasarkan hukum positif atau hukum yang berlaku di Indonesia. Menurut mantan Hakim Agung Bismar Siregar, meski demikian hakim tidak hanya mengacu pada peraturan perundang-undangan saja, tapi juga hati nurani.

Lalu bagaimana jika dalam suatu perkara terjadi kekosongan hukum atau hukum yang ada tidak mengatur secara lebih rinci?

Menurut Prof. Bagir Manan (Ketua Mahkamah Agung periode 2001-2008), saat terjadi kekosongan hukum, maka hakim dapat melakukan penemuan hukum dengan interpretasi atau penafsiran. Salah satu bentuk penafsiran hukum adalah dengan cara membandingkan dengan kaedah hukum di tempat lain. Dengan kata lain, kekosongan hukum di Indonesia dapat diisi dengan hukum negara lain sepanjang penafsiran hukum yang dilakukan oleh hakim bersifat definitif dan menentramkan keresahan masyarakat.

Selain itu, hakim juga dapat melakukan penafsiran dengan cara gramatikal (penafsiran menurut bahasa sehari-hari), historis (penafsiran berdasarkan sejarah), sistematis (penafsiran berdasarkan keseluruhan sistem perundang-undangan), teologis (penafsiran berdasarkan tujuan masyarakat), dan futuristis (berpedoman pada undang-undang yang belum memiliki kekuatan hukum.

Pertanyaan yang kemudian timbul adalah, apabila hakim dapat melakukan penemuan hukum dalam memutus perkara, bukankah hal tersebut menimbulkan suatu kemungkinan terlanggarnya asas non-retroaktif atau asas tidak berlaku surut? Mungkinkah hal ini terjadi?

Dalam suatu perkara, seseorang tidak dapat dituntut atau suatu perkara tidak dapat diputus apabila tidak ada hukum yang mengaturnya. Tentu saja asas ini bertolak belakang dengan ketentuan bahwa hakim tidak boleh menolak perkara.

Menurut Prof. Bagir Manan, yang dimaksud dengan penemuan hukum disini adalah apabila hukum yang ada tidak lengkap atau tidak jelas memutus suatu perkara, bukan berarti tidak adanya hukum sama sekali.

Misal, dalam kasus pencurian listrik jika menganut aturan materiil, hal tersebut tidak terdapat unsur kejahatan, sebab dalam hal ini listrik tidaklah dianggap sebagai barang. Pengertian barang yang dalam undang-unndang hanyalah sebatas pada barang yang berwujud dan berpemilik. Hakim kemudian melakukan penemuan hukum dengan memperluas definisi barang yang mencakup barang tidak berwujud dan tidak berpemilik. Penemuan hukum seperti contoh itu jelas menjawab keresahan masyarakat atas terjadinya pencurian listrik.

Dalam hal lain, penafsiran hukum juga dapat dilakukan prosedural sepanajng tidak bersifat substansial. Misal, di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang mengamanatkan perihal pendaftaran tanah melalui peraturan pelaksananya, namun peraturan yang dimaksud baru ada setelah 37 tahun UUPA tersebut diundangkan. Selama 37 tahun tersebut, pendaftaran tanah di Indonesia tetap dilaksanakan tanpa adanya peraturan pelaksanaan. Barulah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah hadir untuk mengatur mengenai pendaftaran tanah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun