Mohon tunggu...
Chyarla Zevana
Chyarla Zevana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswi program studi Hukum Ekonomi Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pendekatan Sosiologis tentang Perbankan dalam Ekonomi Islam serta Pandangan terhadap Isu Hukum dan Realitanya

14 Desember 2022   21:17 Diperbarui: 14 Desember 2022   21:41 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Efektivitas hukum memiliki arti bahwa hukum harus dijalankan toleh masyarakat tanpa adanya paksaan dari berbagai pihak seperti pemerintah atau instansi penegak hukum. Sistem hukum dinilai berhasil apabila masyarakat dapat menyadari dan melaksanakan apa yang diatur di dalam hukum tersebut. Sehingga menurut saya, efektivitas hukum ini sangat penting khususnya di Indonesia karena realitanya, di negara ini masih banyak masyarakat yang menjalankan hukum dengan terpaksa. 

Contohnya saja dalam berkendara, banyak yang menggunakan helm bukan karena keselamatan, namun karena takut ditilang oleh polisi. Beberapa syarat yang dipertimbangkan dalam efektivitas hukum, di antaranya adalah aturan hukum yang dibuat harus mudah dimengerti oleh masyarakat yang melaksanakannya, aturan hukum harus mudah untuk dicapai (dilaksanakan), tersedianya mekanisme untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang timbul akibat hukum tersebut, serta harus ada mekanisme yang dapat menampung suara dari masyarakat, apakah hukum tersebut dapat berjalan efektif atau malah sebaliknya. 

Pendekatan Sosiologis terhadap Perekonomian Islam Perkara Perbankan

Perekonomian tentu tidak lepas dari keseharian kita dan merupakan salah satu bidang penting yang harus dikondisikan stabil. Dalam perekonomian Islam, tentu kita mengenal riba. Dalam Al-Qur'an sendiri telah dijelaskan bahwa jual beli itu diperbolehkan (halal) dan riba adalah haram hukumnya pada QS. Al-Baqarah ayat 275. Riba sendiri sangat berbahaya karena mengandung unsur penganiayaan (adanya ketidakrelaan yang menyebabkan salah satu pihak sangat dirugikan). Hal inilah yang menyebabkan riba dilarang keras. Realitanya, Indonesia bukanlah negara Islam yang menetapkan seratus persen menggunakan hukum Islam sebagai landasan, khususnya dalam perkara perekonomian. 

Sehingga dalam eksekusinya, masih banyak unsur-unsur 'ketidakpastian hukum' di dalamnya. Contohnya saja bank konvensional yang hingga saat ini masih menjadi pertanyaan apakah umat Muslim tetap diperbolehkan menggunakan bank konvensional, sedangkan sudah ada bank syariah. Namun, dalam pelaksanaannya, masih ada banyak poin yang terbatas jika kita menggunakan bank syariah.

Salah satunya adalah koneksi antar bank dengan bank atau bank dengan sistem pembayaran yang lain. Terlebih jika kita adalah pengguna aktif transaksi luar negeri akan terjadi beberapa hambatan karena bank syariah yang mungkin tidak bekerja sama dengan layanan yang kita gunakan. Hal ini juga disebabkan karena keberadaan bank syariah yang dinilai masih baru dibanding dengan bank konvensional sehingga terdapat hal-hal (fasilitas yang tersedia) yang dinilai masih kurang atau tidak seluas bank konvensional. 

Secara sosiologis, terdapat proses-proses interaksi sosial yang pokok, yaitu ada proses asosiatif dan disosiatif. Dalam proses disosiatif sendiri terdapat persaingan atau competition dengan berbagai bentuk, salah satunya adalah persaingan ekonomi. Persaingan ekonomi dalam situasi ini adalah persaingan dalam 'memenangkan hati' para nasabah dengan cara menambah fasilitas perbankan, menyediakan layanan yang menunjang kebutuhan nasabah, penyediaan tempat yang nyaman, dan lain sebagainya. Maka dengan ini, bank konvensional secara sosiologis dapat berkembang secara pesat karena telah dapat menyediakan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat secara ekonomi. Sedangkan bank syariah pun dapat berkembang karena kepercayaan nasabah untuk menyimpankan uangnya di bank syariah karena bank tersebut mendasarkan pada ekonomi Islam sehingga hal itu dapat memenangkan hati mereka. 

Pandangan Isu Hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas

Gagasan progressive law tercetus karena adanya ketidakpuasan di dalam masyarakat akan hukum yang sudah tidak berjalan dengan semestinya. Terlaksananya kalimat 'hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas' menjadi ciri bahwa hukum yang harus bersifat adil, namun tidak bisa terlaksana dengan baik. Progressive law berkembang di Indonesia ketika masa reformasi pada tahun 1997 karena adanya keprihatinan masyarakat terhadap hukum yang sudah tidak benar. Hukum yang adil menjadi hukum yang membela sebagian golongan saja menjadikan masyarakat Indonesia kala itu mendorong adanya ketegasan hukum. 'Virus' yang sudah menjalar hingga ke lembaga dan instansi hukum menyebabkan susah dilakukannya perombakan undang-undang atau peraturannya saja. Sehingga memunculkan pemikiran bahwa hukum yang dibentuk itu untuk manusia dan menyebabkan masyarakat mulai menaati hukum yang hanya berpihak sesuai dengan kebutuhannya saja (hukum yang menguntungkan dirinya). 

Law and social control juga berperan dalam menciptakan peran hukum yang adil dan seimbang di masyarakat. Law and social control memandang bahwa hukum diciptakan sebagai alat untuk mengontrol masyarakat sehingga masyarakat dapat menjalankan aktivitasnya dengan damai tanpa ada masalah. Ketika ada permasalahan yang menyangkut beberapa pihak, maka hukum bisa dengan tegas dan pasti memberikan penyelesaian. Juga ketika melakukan aktivitas dan keperluannya, masyarakat diatur dalam hukum dengan diterapkannya larangan-larangan sehingga masyarakat memiliki batasan dalam melakukan sesuatu dan tidak melanggar hak orang lain. 

Socio-legal berkembang karena adanya pemikiran bahwa hukum itu tidak bisa terlepas dari aspek-aspek sosial. Hukum juga dibentuk harus berdasarkan apa yang dibutuhkan masyarakat. Dengan pertimbangan masyarakat, maka hukum yang tercipta diharapkan dapat berjalan dengan baik dan ditaati oleh masyarakat dengan tanpa paksaan. Aspek-aspek sosial sebagai pertimbangan dalam menetapkan hukum lah yang mendorong adanya kesesuaian apa yang dibutuhkan masyarakat yang kemudian dituangkan ke dalam undang-undang dengan apa yang dicita-citakan negara sehingga hukum yang dihasilkan tidak melenceng pula dengan masa depan bangsa. Maka, perumpamaan 'hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas' seharusnya bisa dicegah dengan socio-legal karena produk hukum yang ditetapkan itu sudah dilakukan pertimbangan dengan aspek-aspek sosial yang mengacu pada kebutuhan masyarakatnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun