Mohon tunggu...
Cerpen

Mar

1 Januari 2017   21:06 Diperbarui: 1 Januari 2017   22:00 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Derasnya hujan yang turun membuat sang burung yang terbang bebas seakan takut tuk keluar dari sangkarnya dan air yang mengalir dengan santainya ia berjalan menikmati pemandangan. Aku hanya terpaku sendiri di balik jendela, hanya bisa duduk dan diam. Telah berhari-hari kulalui hidup yang sesempit ini hingga aku tak sadar lagi kapan musim kan terus berganti. Duduk diatas kursi kayu yang telah terkoyak habis dimakan rayap, dan bersandar di lapisan dinding yang tipis. Dan kini hanya aku yang sendiri, hingga gelap menjemputku disini.

Teringat akan buku kecil yang kutulis dulu, hingga aku lupa dimana tempat menaruhnya. Dan kucari-cari sampai mata ini bertemu padanya, tangan ini tersentuh pada sampulnya. Menit yang selalu terus melaju, hingga akhirnya buku kecil dengan warna sampul merah jambu dapat kutemukan. Ternyata selama ini dia tersembunyi di balik untaian benang dan setelan kain yang robek. Tak kusangka, kaget aku melihat isinya, hingga air mata jatuh seiringnya hujan yang turun. Oh betapa bahagianya aku dikala itu, isak tangis ini terkalahkan oleh kekecewaan yang sangat mendalam. “oh tuhan, mengapa kau tega mengambil semua milik tubuh ini, tidakkah ENGKAU tahu Tuhan? Jiwa dan raga ini selalu menerima dengan takdir yang telah engkau berikan. Tapi mengapa, Engkau hancurkan semua harapan dan impian yang tersimpan sejak dulu.” Tangis dan sesal serasa membawaku pergi bersama ke dunia yang tak ku harapkan. Dan mengingat kejadian di kala itu…

Aku. Ya aku seorang wanita yang telah berjuang tuk membawa kedamaian dalam hidup. Aku hidup bersama kedua orang tua yang selalu memberiku semangat yang penuh agar aku bisa mencapai kesuksesan yang telah tergenggam dalam tangan kecil ini. “Ibu ayah, Mariyam pamit, Assalamualaikum” “Waalaikumsalam, nak hati-hati di jalan, jangan lupa gorengannya” “iya ibu. Mar gak akan lupa kok, gorengannya di taruh di warung pak iman kan” “iya”.

Langkahku menuju impian yang sebentar lagi kan menjadi kenyataan, membuat hati ini semakin gemetar. karena tahap demi tahap telah kulalui tuk agar berada disini. Di sekolah unggulan, dimana harapan semua orang kan menjadi kenyataan. “Tidak sabar aku menunggu pengumuman ujian kelulusan” hingga hati ini pun terus mengoceh sedemikian rupa. Langkah ini terhenti pada sebuah warung kecil yang di penuhi banyak khalayak untuk mengantri makan. “Assalamualaikum, pak iman ini gorengannya, kata ibu 20 ribu” “iya Mar, bentar ya”. Sambil menunggu uang dari pak iman, kuputuskan untuk duduk sejenak sekedar menikmati angin segar yang berhembus kencang dibawah pohon mangga. “Mar, ini uangnya, oh iya kapan kamu akan di wisuda?” “kira-kira dua minggu lagi pak” “oh, selamat yaa, mudah-mudahan kamu bisa langsung dapat kerja yang baik” “iya pak, makasih ya pak. Maaf Mar mau pamit dulu. Assalamualaikum” “Waalaikumsalam”. Ku lanjutkan langkahku untuk mencari angkot. Hingga tak sadar seseorang memanggilku dari belakang. “Maaf mbak, ini dompet anda terjatuh” “oh iya, makasih ya bu” “keliatannya kamu anak kuliahan ya” “iya bu” “udah semester berapa?” “sudah mau di wisuda” “oh bagus kalo gitu, kamu jurusan apa?” “saya jurusan pariwisata” “wow, lebih bagus kalo gitu” “memangnya kenapa ya bu?” “kebetulan di tempat kerja saya sedang butuh karyawan baru, tepatnya di bagian pemandu wisata. Lumayan loh bayarannya” “oh yang benar bu” “iya, ini alamat tempat kerja saya, kalo kamu berminat silahkan datang, pendaftarannya di buka mulai tanggal 31 bulan ini” “makasih bu atas informasinya”. Setelah selesai berbincang-bincang akhirnya sang angkotpun datang, namun kali ini aku tak dapat masuk, karena sudah dipenuhi banyak orang. Handphone berbunyi di saat aku tengah menunggu “Mar, kamu dimana?” “Aku lagi nunggu angkot nih” “kan aku bilang kamu dimana, bukan lagi ngapain” “oh iya iya, maaf sil, aku di jalan Mandaguru, dekat terminal” “ok, aku kesana ya” “emangnya gak ngerepotin?” “ih apaan sih kamu, kita udah sahabatan tuh dari smp, masa kamu masih canggung sih. Udah ah. Tunggu ya” “hehe iya iya sila”.

            Terlihat dari kejauhan sedan hitam menuju ke arah ku. “eh Mar, sorry ya nunggu agak lama, tadi macet abis ada kecelakaan tuh di deket sana” “iya gakpapa kok” “yaudah yuk masuk”. Setelah mobil sedan membawaku dan sila pergi menjauhi terminal, kini kami sampai di sekolah kami yang terkenal. Ya aku tau semua orang yang sekolah disini karena mereka memiliki kelebihan materi, termasuk sahabatku Sila. Sedangkan aku hanya seorang anak dari tukan gorengan dan pedagang Koran. Aku bisa sampai di sekolah Sinwha karena beasiswa yang terus menolongku hingga titik terakhir menjelang kelulusanku. Namun aku tak malu, aku kan tetap terus berusaha demi kedua orang tua yang sangat kusayangi. “ih kok bengong sih Mar, ayo masuk, kamu gak pengen tau apa..” “ya pengen taulah Sil,,” Kerumunan orang yang berkumpul dan melihat pengumuman di madding semakin membuatku penasaran hingga tak sadar aku lari dan meninggalkan Sila. “Maaf persimisi. Maaf ” ku terobos kerumunan orang di sana hingga aku dapat melihat pengumuman dengan mata kepalaku sendiri “Subhanallaah, ibu ayah Mar lulus,,” dan dengan tangis kebahagiaan ini ku akhiri dengan bersujud di depan kerumunan orang, seakan tak sadar bahwa semua mata tertuju padaku. “Mar, kamu gakpapa, ayo bangun…” “Sil, aku lulus, aku lulus” “iya. iya” “betapa sulitnya aku mendapatkan beasiswa di sekolah favorit ini, hingga aku bisa lulus dengan nilai tertinggi” “iya, tapi kamu bangun dulu,,”. Akhirnya kami berjalan menyusuri koridor dan sampai di kantin. “Sebagai hadiahnya karena kamu lulus dengan nilai tertinggi, aku traktir kamu sepuasnya” “Mmakkaasih” “udah dong jangan nangis lagi” “iya ”. Setelah puas aku menyantap makanan, akupun beranjak dari tempat duduk dan pulang. Namun di tengah perjalanan kurasa hati ini kacau dan berfikiran negatife akan ayah. Tok tok tok,, ku ketuk terus pintu rumah namun tak ada yang membukakan. Melihat aku terus mengetuk pintu rumahku sendiri, akhirnya tetangga dekat rumah menghampiri dan berkata “ibumu di rumah sakit sedang menunggu ayahmu yang dirawat”. Aku terkejut “ayah Mar kenapa?” “ayahmu kecelakaan pagi tadi dekat terminal” “apa di jalan Mandaguru?” “iya”. Tubuhku lemas, seakan kaki ini tak kuat lagi menopang berat tubuhku. Akupun menuju rumah sakit untuk menemui kedua orang tuaku. Saat sampai di pintu masuk, terlihat ibu yang sedang menangis tersedu-sedu. “ibu, bagaimana keadaan ayah” “kau sudah tau nak, dia sedang koma akibat benturan di kepalanya” “Lalu apa yang dikatakan dokter bu?” “ayahmu harus di operasi Mar” Kami pun lemas dan bingung. “Kita harus mencari kemana uang untuk operasi ayahmu Mar” “Berapa uang yang di butuhkan untuk operasi ayah bu?” “125 juta” “Apa..sebanyak itu” “iya, kata dokter, saraf otak ayahmu terputus, dan operasi yang di butuhkan memang sangat mahal”.

Tak tega melihat wajah malaikatku menangis kebingungan akupun berkata “ibu tenang aja, biar Mar yang cari uang untuk operasi ayah, ibu jaga ayah” “tapi nak, kamu mau cari kemana? Uang itu tidak sedikit”. Akupun berlari menuju rumah Sila. Tok tok tok “maaf cari non Sila ya” “iya mbok. Silanya ada?” “kebetulan Non Sila baru aja keluar sama orang laki-laki, ih kasep euy” “eeeeh.. yaudah makasih ya mbok” “oh iya”. Aku berlari tanpa arah tujuan, entah sampai kaki ini kering karena panasnya matahari tak membuatku gentar untuk jatuh. Teringat akan paman Roy, aku langsung menuju rumahnya. Tangan ini gemetar ketika sampai di halaman rumanya yang luas. Tok tok tok “Assalamualaikum” “waalaikumsalam, maaf non cari siapa ya” “ssessesaya mau cari paman Roy” “tunggu sebentar”. Kaki ini lemas dan merinding ketika melihat paman Roy tengah berjalan menghampiri ku “eheemmm… kamu Mar, ada apa kamu kemari, bukannya semua seisi rumahmu habis karena hutang ayah mu padaku yang tak dibayarnya. Kenapa kau berani kesini” teriakkannya yang keras membuat tubuh ini gemetar dan kejang “Ssesaya ingin pinjam uang ke paman” “APA” “Ssaya mohon paman, ayah saya sangat butuh biaya untuk operasinya” “heemm jaminan apa yang kau berikan untuk ku”(dengan senyuman sinis). “Ssaya” “apa kau yakin, kau yang akan menjadi jaminannya” “Iiiiya, saya yakin” “kau butuh berapa?”(mengelus kumisnya). “125 juta” “baik, aku akan berikan uang itu, tapi jika sampai kau telat untuk membayarnya dan bunganya, kau akan kujual keluar negeri. INGAT ITU” “Bbbaik”.

Setelah percakapan kami selesai, aku pun langsung berlari menuju rumah sakit agar ayah segera di operasi. “ibu ibu Mar dapat uangnya”(berlari dengan suara terengah-engah) “kau mendapat uang itu darimana Mar” “ibu gak usah memikirkannya, yang terpenting sekarang adalah kesembuhan ayah”. Operasi pun akhirnya di laksanakan malam ini juga. Aku dan ibuku tak henti berdzikir dan memohon keberhasilan operasi ayah. 2 jam lebih kami menunggu di depan ruang operasi, sang dokterpun memanggil ibu. Aku tak tau apa yang dikatakan dokter itu, tapi kulihat dari wajah ibu seakan memberi pertanda bahwa terjadi sesuatu pada ayah. Ibu menghampiri ku dengan terisak-isak. “ayah kenapa bu” “ayahmu tak bisa di selamatkan ” akupun jatuh tak sadarkan diri, hingga terbangun diruangan yang penuh gemerlap lampu yang menerangiku. Terlihat ibu yang menangis di samping ayah yang tertidur pulas, yang seakan memberi isyarat bahwa Ia kan pamit meninggalkan kami selamanya. Pagi pun tiba memenuhi tangis isak kesedihan kami yang mengantarkan sang ayah ke pembaringan terakhir. “Mar, sorry ya aku gak bisa ada di saat kamu butuh” “gakpapa Sil, ini bukan salah kamu kok” “kalo kamu ingin curhat apapun, tolong kamu kerumah ku, aku siap buat dengerin kok” “makasih Sil..”.

Aku terpisah dari rombongan melayat, dan menyendiri. Aku berfikir bagaimana cara agar mengembalikan uang paman Roy beserta bunganya. Namun fikiranku terhenti karena teringat alamat yang diberikan oleh seorang perempuan setengah baya, yang memberikan secercah harapan untukku dan ibuku. 2 minggu setelah kematian ayah, akhirnya aku di wisuda dengan predikat wisudawati terbaik. Kebahagiaan yang tak terkira, kini aku telah menjadi sarjana yang siap untuk menuai karir. “Nak, jangan lupa baca doa ketika kamu tes nanti” “iya bu, Mar gak akan lupa kok. Udah ya bu Mar berangkat dulu”. Tapak demi tapak kulalui tanpa adanya keresahan. Kini yang tertanam dalam hati hanyalah kerja keras dan optimis. “Semangat Mar, kamu pasti bisa kok”.

Akhirnya pengumuman untuk lolos masuk kerja membuat ku gembira karena aku termasuk di dalamnya. Hari pertama memang sangat sulit bagiku untuk beradaptasi. Namun aku harus berjuang keras untuk merasa nyaman dalam kerja. Hingga 6 bulan lamanya, masalah datang padaku. Saat itu tak sengaja aku menabrak seseorang yang sangat membenciku karena kualitas kerjaku yang dipandang tinggi oleh bos. “Aduh,,, hey kalo jalan liat-liat napa, gak punya mata apa…” “maaf rin, gak sengaja” “apa, gak sengaja kamu bilang, eh kamu sengaja ya, biar kamu berkuasa disini, inget ya, kamu tuh tetep junior ku. Ngerti gak. Dasar penjilat”. Aku tertunduk kaku di depan senior yang sampai saat ini tidak naik jabatan. Ya dia selalu iri pada kerja keras ku. Namun rasa irinya menumbuhkan rasa benci yang besar terhadapku. Memang bekerja itu tak selamanya mendapatkan kesenangan, pasti suatu saat masalah akan datang menghampirinya sejenak untuk mengajarkan bagaimana kita bisa menghadapi dengan rasa ikhlas. Ku terus jalani hidupku dengan menerima takdir yang telah di tentukanNYA. Dan aku yakin bahwa suatu saat pada waktu yang tepat, aku dan orang-orang yang ku sayangi kan bahagia selamanya. Itulah semua impian dan harapan yang kutulis di buku kecil dengan sampul merah jambu.

Bunyi handphone yang terus bordering seakan memberiku pertanda bahwa ada sesuatu yang penting. “Haloo.. "ada apaa Sil” “kamu lagi sibuk gak?” (dengan nada gembira) “iya, kamu tau kan sekarang lagi jam kerja” Memang takdirku tak sebaik sahabatku, saat dia lulus, dia langsung memegang jabatan sebagai manager hotel orang tuanya. Namun yaa tetap harus ku terima apa adanya dengan cara mensyukurinya. Kulanjutkan pembicaraan ku padanya “emangnya ada urusan apa sih Sil?” “enggg yaa udah nanti pulang kerja aku jemput kamu. Oke gak pake tapi tapian. Titik, bay” “halo..halo.. tapi Sil.. UUuh dasar!”. Jam menunjukka pukul 5 sore dan kini saatnya aku membereskan semua peralatan kerjaku untuk segera pulang. Saat tengah berjalan keluar terlihat sedan hitam yang kukenali. “ayo Mar.. cepet” “iya iya Sil.. emangnya ada apa sih, kok kayak gak sabaran sih” “Aku mau kenalin kamu sama pacar aku. Yaa emang sih kita kenalnya udah lama banget tapi, dia baru nyatain cinta 3 hari yang lalu. Dan aku harap kamu setuju dengan pilihan aku”. Aku hanya tersenyum melihat tingkah laku sahabat ku yang sedang di mabuk cinta, dengan mendengar ocehannya yang terus menerus sepanjang perjalanan kami menuju restoran tempat di mana kami akan bertemu pacar baru Sila. Mobil pun berhenti dan kami pun menuju tempat duduk yang sengaja di siapkan oleh Sila. “mmmhh bentar lagi dia datang kok Mar”. Terdengar langkah kaki yang semakin dekat menuju tempat duduk kami, dia berpakaian kaos dengan jins hitam disertai kacamata yang menempel pada keningnya. “Sorry ya agak lama” “gak papa, ini juga baru dateng” sahut Sila. “Sil, ini teman kamu?”tanyanya “iya, kenalin ini Mariyam sahabatku”. Matanya yang terlihat munafik seakan memberiku pertanda bahwa dia adalah orang yang tidak benar. “yaudah aku pesen dulu ya, Mar kamu mau apa?” “terserah kamu aja” “oh yaudah, kalo kamu say?” “aku juga terserah kamu deh”. Mata lelaki itu selalu tertuju padaku dengan tingkahnya yang aneh ketika melihatku. Memang aku merasa ini aneh. Tapi dengan sikapnya yang membuatku merasa tidak nyaman, membuatku tidak betah berlama-lama disini. Lama kami berada di restoran tersebut, akhirnya kuputuskan untuk pamit. “Sorry ya Sil, udah malem, takut di tungguin ibu” “oh yaudah, maaf ya aku gak bisa nganterin” “gakpapa, aku naik angkot aja”.

Minggu pagi yang cerah membuatku kembali bugar setelah bekerja yang cuku melelahkan. “bu. Mar keluar sebentar, mau jalan-jalan” “iya, jangan lupa diminum dulu susunya” “iya bu”. Setelah bersiap-siap akupun bergegas keluar untuk jalan-jalan. Namun di tengah jalan aku di sergap oleh dua orang lelaki berpakaian hitam dan membawaku kerumah yang dulu pernah ku jejaki. Terlihat paman Roy yang sedang duduk santai di teras rumahnya dan berkata”waktu kamu tinggal 5 hari lagi, kamu masih ingatkan dengan perjanjian kita” “Iiiyaa, Sssaaya masih ingat”. Setelah pulang dari sana kakiku gemetar, tubuhku merinding dengan keringat dingin. “Assalamualaikum bu” “waalaikumsalam, kenapa wajahmu pucat nak, ada apa”. Aku langsung menuju kamar dan mengunci pintu rapat-rapat. Terdengar suara ketukan pintu dari ibu sambil berkata “Mar, apa yang terjadi, bilang sama ibu”. Aku menghiraukan perkataannya dan terus meringkuk di atas tempat tidur yang sempit. Aku berfikir bagaimana caranya agar dapat mengembalikan uangnya sekaligus bunganya yang sangat tinggi. Setelah satu jam aku berdiam diri di kamar, aku langsung keluar menuju ATM untuk mengecek berapa tabunganku saat ini. “Astaughfirullah, hanya 25 juta, lalu sisanya lagi harus kucari kemana?”. Ketika keluar dari ATM tak sengaja aku berpapasan dengan lelaki yang pernah kutemui di restoran, ya dia kekasih Sila yang sikapnya tidak sopan padaku. “ehemm kayaknya kita pernah bertemu deh, emmm kamu temennya Sila kan,, ternyata kalo di liat-liat kamu cantik juga ya”(menatap ku dengan tidak sopan) “maaf ,apa yang anda bicarakan itu tidak sopan. Permisi”. Di saat aku mulai berjalan, dia menghadangku dan berkata”eits mau kemana, jangan marah gitu dong, emm sebenernya aku sama Sila tuh Cuma main-main aja,,” “heyy, apa kamu bilang, kamu jangan main-main ya sama Sila, dia sahabat aku, jadi awas kalo sampe’ ada apa-apa, kamu yang akan berhadapan denganku. Ngerti!” “Uuusshh kalo marah tambah cantik deh…gimana kalo kamu aja yang jadi pacarku, tenang.. aku punya harta yang berlimpah, jika kamu mau aku akan kasih itu buat kamu” “Dasar kurang ajar”. Akhirnya ku dorong dia dan terus berjalan sambil menunggu angkot. Namun masih terdengar di telingaku bahwa ia mengatakan dengan keras”heyy ingat yaa aku gak akan segan-segan buat ngedapetin kamu dengan cara apapun. Kamu camkan itu!”. Aku tak berani untuk menoleh kebelakang, dan aku terus melanjutkan perjalananku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun