Mohon tunggu...
Chuang Bali
Chuang Bali Mohon Tunggu... Wiraswasta - Orang Biasa yang Bercita-cita Luar Biasa

Anggota klub JoJoBa (Jomblo-Jomblo Bahagia :D ) Pemilik toko daring serba ada Toko Ugahari di Tokopedia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menikmati Ketidaksempurnaan

27 November 2022   10:10 Diperbarui: 27 November 2022   10:10 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam keseharian hidup hingga dewasa ini masih sering kita jumpai penilaian yang menganggap sesama kita yang tak memiliki anggota tubuh lengkap atau baik sebagai "orang-orang cacat" atau "orang-orang dengan kondisi fisik yang tak sempurna". Kekeliruan terbesar dari ungkapan seperti itu, yang barangkali tak pernah disadari, adalah kenyataan bahwa sesungguhnya tak ada manusia yang sempurna.

Apakah memiliki 2 tangan, 2 kaki, dengan jari-jari seluruhnya 20, mata+telinga @2, hidung+mulut @1, dan semua berfungsi dengan baik dapat disebut sempurna? Secara sekilas dan dalam pengertian terbatas, ya! Tapi bila dilihat keseluruhan dan mendalam, tidak! Bahkan yang tercantik atau tertampan pun masih saja mengeluhkan ada bagian-bagian tubuhnya yang menurut mereka tidak memuaskan. Jika semua sungguh sempurna, tak ada orang yang akan mengeluh atau pergi ke dokter bedah plastik. Dan jika tubuh yang mudah terlihat ini saja sudah tidak dapat disebut sungguh sempurna, apalagi batin yang lebih tak terlihat. Hanya mereka yang tercerahkan sempurna memiliki batin tanpa cela.

Seperti kebanyakan manusia awam, saya sendiri memiliki banyak ketidaksempurnaan. Secara fisik seluruh anggota tubuh saya lengkap, tapi secara fungsi beberapa indra tak sebaik yang seharusnya. Mata dan telinga saya hanya berfungsi setengah dari kemampuan kebanyakan orang yang disebut "normal". Saya harus memakai kacamata dan juga alat bantu dengar (ABD). Selain itu, sistem keseimbangan tubuh saya pun tidak baik, saya menderita ataksia atau yg dikenal sebagai kesulitan dalam menjaga keseimbangan saat berjalan. Reflek mata dan jelajah pandangnya terbatas seakan seperti memakai kacamata kuda (konon, tanda atau gejala dari retinitif pigmentosa), sehingga amat berbahaya bagi saya untuk nengendarai mobil atau motor. Itu membuat saya sulit pergi ke mana-mana, terutama di pulau dengan transportasi umum yang "antara ada dan tiada" seperti Bali.

Tapi itu duluuu....Untungnya sekarang urusan transportasi itu sudah ada solusinya: gojek atau grab, atau kawan-kawan mereka yang lainnya, hehehehe....

Pada awalnya keterbatasan ini tak jadi soal besar. Tapi lama-lama, ketika mulai beranjak dewasa, ketergantungan kepada orang lain dalam hal mobilitas sempat membuat saya berkecil hati. Saya juga sempat mengalami ejekan dan menjadi bahan tertawaan di sekolah karena sering tulalit jika diajak bicara atau dipanggil guru untuk maju ke depan, atau ketika absensi (karena waktu itu belum memakai ABD. ABD masih amat jarang dan mahal, tidak seperti sekarang yang mudah dibeli dan lebih terjangkau).

Dengan berlalunya waktu dan bertambahnya wawasan, juga karena pelatihan yang menumbuhkan sikap lebih bisa melepas dan menerima, kini saya tak lagi memandang segala keterbatasan itu sebagai sesuatu yang memalukan, yang mengecilkan hati dan menjadikannya alasan untuk terus bermelodrama dengan lakon "Malangnya Aku, Oh Malangnya Aku". Alih-alih saya mulai bisa menerima keadaan itu dengan ringan hati.

Sebagai contoh, kepada beberapa kawan dan kerabat, saya biasa bercanda menertawai diri sendiri dengan mengatakan, "Mataku memang setengah buta, tapi paling tidak masih bisalah buat membedakan duit 100rb dari 10rb, dan juga gadis cantik dengan yang biasa."

Hahaha....

Lebih daripada itu, saya juga menyadari keterbatasan ini justru kadang memberikan beberapa keuntungan bagi saya.  

Misalnya, karena ketidakmampuan saya dalam hal mobilitas maka ke mana pun pergi saya selalu memiliki seorang "sopir" atau "tukang ojek" pribadi (yang di masa kini bisa dengan mudah pula dipesan via aplikasi). Saya tidak pernah perlu berlelah-lelah ria selama perjalanan. Saya cukup duduk manis di jok penumpang atau di samping "pak kusir yang sedang mengendarai kereta", santai menikmati pemandangan atau suasana kota.  

Lebih mengasyikkan adalah soal telinga saya yang oleh seorang teman sekolah dulu pernah disebut sebagai "antena yang kurang tinggi" (maklum, anak jurusan teknik elektronika di STM, sekarang SMK).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun