Mohon tunggu...
Chuang Bali
Chuang Bali Mohon Tunggu... Wiraswasta - Orang Biasa yang Bercita-cita Luar Biasa

Anggota klub JoJoBa (Jomblo-Jomblo Bahagia :D ) Pemilik toko daring serba ada Toko Ugahari di Tokopedia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mati? Ah, Cuma Pindah Alamat Saja, Kok!

18 Juni 2022   16:51 Diperbarui: 18 Juni 2022   16:54 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam keseharian secara umum, kematian dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan untuk dibicarakan. Kebudayaan kita kini didominasi oleh keyakinan bahwa kematian harus disambut dengan dukacita, ratap tangis dan kesedihan. Padahal, sejak manusia ada di dunia, tak terelakkan bagi kita untuk menghadapi pengalaman kematian dari anggota keluarga inti, sanak saudara yang cukup jauh, teman, kerabat, dan nantinya---cepat atau lambat---kematian kita sendiri.


Saya pun juga, seperti semua orang, punya pengalaman kematian. Mulai dari kematian nenek, bibi, paman, dan terakhir yang amat dekat, Mama saya sendiri.


Dan dari pengalaman terakhir ini, saya baru benar-benar melihat bagaimana seseorang berjuang untuk tetap hidup, tapi yang pada akhirnya karena waktunya telah tiba tetap harus berangkat pergi meninggalkan segala yang ia kasihi. Saya menyadari satu pelajaran amat penting, yang meski sebelum ini telah mendapatkan perhatian saya, tapi melalui kematian Mama arti penting pelajaran itu semakin ditekankan: sedari awal kehidupan, kita semestinya membiasakan diri untuk melepas, membiarkan berlalu. Karena di sepanjang keseharian hidup dan lebih-lebih lagi kelak ketika kita menghadapi kematian, kemampuan melepas itu sungguh amat berguna sekali.


Seperti yang telah saya sebutkan di awal, ada suatu anggapan umum bahwa kematian itu seharusnya menyedihkan. Karena itulah, ketika kematian Mama, beberapa kerabat mungkin merasa heran mengapa saya tidak menangis atau menampakkan wajah sedih. Mengapa saya bisa bersikap tenang, bahkan meminjam kata seorang kerabat, "santai sekali"? Apakah saya tidak menyayangi Mama saya?


Hahaha...apakah kasih harus berarti kesedihan ketika kita ditinggal pergi oleh yang terkasih?.....


Tentu saja, saya belumlah suciwan, bahkan masih amat jauh dari itu. Tapi ada beberapa hal yang bisa menjelaskan mengapa saya tidak menangis seperti peran yang dituntut oleh anggapan umum bagi orang yang mengalami kematian keluarganya.


Pertama, Mama meninggal di waktu yang tepat. Maksud saya, beliau meninggal ketika saya telah memiliki suatu tingkat pemahaman terhadap apa sesungguhnya hakikat kehidupan ini. Pemahaman yang saya peroleh melalui perenungan, pembacaan, dan meditasi. Saya membayangkan, andai Mama meninggal 10 tahun lalu, saat mana saya masih amat "cengeng" (sekarang pun masih, tapi sudah tidak amat-amat banget, sih, hehehehehe....), saya pasti sudah menangis dan bahkan mungkin mengalami depresi.

Kedua, Mama meninggal tidak secara mendadak. Beliau mengalami sakit yang cukup lama sehingga sedari awalnya beliau masuk rumah sakit saya sudah mempersiapkan batin saya untuk bersedia menerima apa pun yang terjadi. Saya selalu mengingat-ingat satu pelajaran penting tapi mungkin terasa terlalu "kasar" bagi sebagian orang yang tak siap dengan keterusterangan seperti ini: nasihat Ajahn Chah bahwa, "Hanya ada dua kemungkinan bagi seseorang yang sakit, dan kedua kemungkinan itu sama-sama baik: sembuh, atau mati!"

Itulah mengapa saya bisa bersikap tenang. Termasuk juga ketika seorang kenalan Mama saya yang tak tahu menahu bahwa Mama saya telah meninggal, bertanya tentang kabar beliau. Ketika saya beritahukan Mama saya sudah meninggal, kerabat itu, seperti adegan klise di film-film Hollywood, meminta maaf. Saya bilang, tidak ada yang perlu dimaafkan. Kematian itu wajar, amat alami, karena bagian dari kelahiran.

Sesungguhnya dari perspektif kelahiran ulang, kematian itu tidak ada. Kematian hanyalah satu proses pindah alamat ke alam lain. Dan dari keyakinan Buddhis, orang-orang yang kita kasihi yang telah berangkat pergi mungkin tak akan pergi jauh-jauh dari lingkaran keluarga kita sendiri. Mereka bisa jadi, jika karmanya memungkinkan, terlahir ulang sebagai kerabat dekat atau jauh kita, dan kita pun bisa bertemu kembali dengan mereka jika jalinan karma kita dan mereka masih belum usai.

Jadi, gak perlu sedih, lahh....

220911

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun