Mohon tunggu...
Chuang Bali
Chuang Bali Mohon Tunggu... Wiraswasta - Orang Biasa yang Bercita-cita Luar Biasa

Anggota klub JoJoBa (Jomblo-Jomblo Bahagia :D ) Pemilik toko daring serba ada Toko Ugahari di Tokopedia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kisah Malin Kundang dan Pelajaran tentang Pengambilan Keputusan

7 Juni 2022   18:23 Diperbarui: 7 Juni 2022   18:29 770
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kisah Malin Kundang adalah salah satu kisah legenda atau dongeng asli Nusantara yang paling tersohor. Bagi mereka yang lahir di era Milenium, yang mungkin lebih akrab dengan K Pop atau drakor sehingga tak kenal jagoan kita yang bernama Malin Kundang ini, saya dengan senaang hati akan menceritakan secara ringkas kisahnya berikut ini:

Dahulu kala di sebuah desa di suatu negeri, hiduplah seorang single parent emak-emak yang mempunyai seorang putra bernama Malin Kundang. Malin Kundang adalah anak yang baik dan berbakti kepada Ibunya, dan dia dibesarkan oleh sang Ibu dengan penuh kasih sayang. Malin Kundang pun tumbuh menjadi pemuda keren, yang pada suatu hari, akhirnya meminta doa restu Ibunya untuk pergi ke negeri seberang mencari penghidupan yang lebih layak. Sang Ibu memberi restu, maka berlayarlah sang anak ke tanah seberang demi mengejar cita dan cinta (eh!).

Lama menunggu kepulangan sang anak yang tak pernah sekali pun berkabar, sang Ibu gelisah didera kangen. Lalu pada suatu hari desa tempat tinggal sang Ibu gempar kaerna tersebar kabar sebuah kapal besar sudah bersandar di dermaga tepian laut desa itu. Dari penampakannya, kapal itu pasti milik seorang crazy rich. Dan benar, memang milik crazy rich anyar bernama Malin Kundang, si anak hilang itu. Dia mudik dengan penuh gaya bersama istrinya yang cantik. Sang Ibu sangat bahagia mengetahui anak kesayangannya telah pulang kampung dengan membawa kesuksesan, cepat-cepat dia pergi ke dermaga tepian laut untuk menemui anaknya.

Tetapi malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih!

Malin Kundang, karena malu melihat penampilan miskin Ibunya, menolak mengakui bahwa wanita itu adalah Ibu kandungnya sendiri. Hancurlah hati sang Ibu. Pupus sudah harapannya untuk kembali berkumpul dengan anaknya. Dan dalam suasana hati yang nestapa itu, yang barangkali bercampur dengan amarah dan kekecewa besar, sang Ibu mengucapkan kutuknya agar si anak durhaka, Malin Kundang, berubah menjadi batu.

Duaaarrr.....! Duaaarrrr/....! Duaaarrr.....! Seketika petir menyambar 3 kali, padahal langit cerah dan hari masih siang bolong (belum sempat ditambal). Malin Kundang, si anak durhaka yang tak sudi mengakui Ibunya sendiri itu, akhirnya benar-benar berubah menjadi batu besar yang duduk nongkrong selamanya di tepian laut.  

Demikianlah legenda Malin Kundang. Pesan moral yang umum diketahui dari legenda itu adalah: kalau jadi anak, jangan jadi anak durhaka yang menyakiti hati orang tua sendiri. Nanti bisa-bisa dikutuk jadi batu. Nggak asyik, kan? Hehehe....

Tapi sebenarnya, jika ditelisik lebih jauh dengan pikiran-pikiran usil kreatif khas makhluk yang tak mudah puas dengan hal-hal lazim (maunya beda sendiri), ada pesan moral lain yang terselip dan bisa kita ambil sebagai pembelajasan.

Apa itu?

Yakni: Jangan mengambil keputusan apa pun saat kita sedang marah dan kecewa, karena keputusan yang diambil dalam suasana emosional dapat dipastikan akan merugikan kita dan disesali di kemudian hari.

Bukaaan..... Sang Ibu bukan menyesal telah mengutuk anaknya jadi batu. Seingat saya tidak ada keterangan begitu di kisah aslinya. Tapi seandainya sang Ibu mau menepi sejenak, misalnya kita bayangkan di dekat dermaga tersebut ada kafe penjual kopi dan kudapan lezat, dan lalu sang Ibu pergi ke sana untuk menenangkan diri, ngopi-ngopi cantik sambil mengudap kudapan maknyus dengan atmosfir dipenuhi melodi musik instrumentalia "sound of nature" yang menenangkan hati. Lalu setelah pikirannya cukup jernih, hatinya mulai adem, detak jantung normal kembali dan perut pun kenyang, dia kemudian menimbang begini:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun