Mohon tunggu...
Chuang Bali
Chuang Bali Mohon Tunggu... -

Tinggal dan tumbuh besar di Denpasar Bali Hobi membaca, menulis, berinternet, mendengarkan musik dan menonton film Memunyai pekerjaan sambilan sebagai penerjemah buku-buku Buddhisme, terutama terbitan Ehipassiko Foundation seperti Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya (dulunya: Membuka Pintu Hati) karya Ajahn Brahm, Lingkaran Keindahan (PT Elex Media Komputindo) karya Master Cheng Yen dan lain-lain. Karya Tulis: Trio RaTaNa (Karaniya), Senyum, dong! Dunia Belum Kiamat lho, Berbuat Baik Itu Mudah (Ehipassiko Foundation)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kadang, Cinta Ada di Kakimu*

1 November 2011   11:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:12 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Suatu ketika Lao Tze sang filsuf membolehkan seorang murid menemaninya berjalan-jalan di pegunungan. Ketika mereka sampai di suatu tempat yang amat indah pemandangannya, si murid berkata dengan penuh kekaguman, “Betapa indahnya!” Sejak saat itu, Lao Tze tak pernah lagi mengijinkan si murid menemaninya berjalan-jalan.

Brian adalah seorang kepala keluarga dari sebuah keluarga kecil yang terdiri dari seorang istri, dua orang anak, dan Kevin si anjing. Brian mengasihi mereka semua, sebagaimana istri dan anak-anaknya mencintai Brian. Tapi Brian tak pernah mengatakan bahwa dia mencintai istrinya, anak-anaknya. Toh begitu, anak-anak dan istrinya tahu, tanpa perlu kata-kata, bahwa Brian mengasihi mereka.

Tentang Kevin si anjing, dia sangat memuja Brian sampai-sampai Kevin menganggap Brian sebagai Tuhan. Kevin selalu berusaha menjadi yang pertama menyambut Brian saat dia pulang bekerja. Tapi Brian seringnya tak menggubris, kecuali jika dia nyaris menginjak ekor Kevin.

Sampai pada suatu hari ketika Brian sedang dalam pemulihan dari sakitnya, tiba-tiba saja segalanya berubah. Kevin mendapatkan perhatian dari Brian seperti yang selama ini dia angan-angankan. Tanpa kata-kata, hanya tindakan sederhana namun bermakna mendalam melampaui kata-kata terindah sekalipun, Brian menunjukkan kasihnya kepada Kevin. Dan Kevin tahu itu: kata-kata tak diperlukan di sini.

Apakah Brian pernah membaca Lao Tze?

Mungkin saja.

Selain ilustrasinya yang keren dengan gaya karikartural, sangat menarik membaca cerita dalam buku ini, mengingat penulisnya berasal dari suatu kebudayaan yang secara umum menghargai ungkapan-ungkapan seperti “Aku cinta kamu” atau “Aku menyayangimu” sebagai cara menunjukkan rasa kasih kepada yang lainnya. Hal ini berbeda dalam kebudayaan Asia yang lebih mengutamakan isyarat tubuh dan tindakan untuk mengungkapkan perasaan ketimbang kata-kata.

Kata-kata memiliki keterbatasan, baik dalam makna apalagi bunyi. Kata-kata tak selamanya mampu menggambarkan sesuatu dengan seutuhnya, setepat-tepatnya. Dan dalam situasi-situasi tertentu, kata-kata justru akan merusak, mendangkalkan apa yang sedang kita alami, rasakan, dan saksikan. Seperti ketika kita larut dalam keheningan kontemplatif, jika mendadak muncul kata-kata dalam hati maupun luar hati yang berseru “Hening!, saat itu juga keheningan akan pergi tanpa pamit.

Kadang, cinta ada di kakimu. Dan seringkali, cinta tak harus diucapkan dengan kata-kata. Saat hati telah tertaut rapat dalam harmoni dan pengertian, dengan sendirinya cinta akan terasa begitu kuat dan mendalam, tak terkatakan, tak terlukiskan….

291010

Sumber: http://ceritachuang.blogspot.com

* Diilhami oleh buku anak-anak berjudul “Kadang, Cinta Ada di Kakimu” (Sometimes Love Is Under Your Foot), karya Colin Thompsonm, Penerbit KidClassic Publication

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun