Mohon tunggu...
Chaerul Sabara
Chaerul Sabara Mohon Tunggu... Insinyur - Pegawai Negeri Sipil

Suka nulis suka-suka____

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

"Mondau" Tradisi Berladang Suku Tolaki yang Penuh Ritual

28 Juni 2022   00:00 Diperbarui: 28 Juni 2022   11:46 3174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tradisi berladang. Sumber: Kompas.com/Iwan Setiyawan

Seluruh rangkaian atau tahapan dari Mondau ini dilakukan secara gotong royong oleh warga masyarakat di satu kampung. Meski sekarang pelaksanaan kegiatan Mondau tidak lagi persis sama dengan tradisi leluhur di masa lalu, seperti misalnya perladangan yang berpindah-pindah tidak lagi dapat mereka lakukan sehubungan dengan semakin menyempitnya lahan yang tersedia, karena telah ada penetapan lahan-lahan hutan lindung dan kawasan konservasi.

Tahapan pertama dari tradisi Mondau ini adalah Monggikii Ando’olo atau melihat lokasi ladang, dalam tradisi masyarakat Tolaki mereka mengenal beberapa klasifikasi lahan yang didasarkan pada faktor-faktor, seperti usia kawasan hutan, jenis vegetasi hutan, lokasi aliran sungai dan kondisi geografis kawasan hutan.

Kearifan lokal leluhur masyarakat Tolaki dalam membaca kondisi lingkungan tersebut akan sangat berkaitan dengan keberhasilan perladangan yang akan diperoleh para peladang. Akan tetapi saat ini karena lokasi perladangan sudah menetap dan tidak lagi berpindah, maka yang menjadi patokan dalam hal ini adalah musim tanam atau kapan harus mulai menanam.

Tahapan selanjutnya adalah “Mohoto Owuta” yang jika diartikan secara bebas adalah “Memotong Tanah”. Namun, dalam pengertian disini mohoto owuta itu adalah suatu prosesi upacara yang mengawali seluruh rangkaian proses mondau, yang dalam keyakinan orang tolaki harus dilaksanakan  apabila hendak membuka kawasan hutan untuk berladang.

Prosesi ini dimaksudkan sebagai permohonan izin kepada “Sangia Ando’olo” (dewa hutan) untuk membuka hutan tersebut sebagai lahan untuk berladang agar dapat terhindar dan terjaga dari malapetaka, baik yang bisa menimpa peladang maupun terhadap tanaman-tanaman di ladang, misalnya kecelakaan atau gangguan hama wereng, tikus, babi, monyet, dll.

Selain itu, prosesi yang dipimpin oleh seorang Sando (dukun) ini dimaksudkan pula agar hutan atau lahan yang dijadikan sebagai lokasi perladangan ini nantinya tidak menjadi tandus, akan tetapi dapat pulih kembali menjadi hutan sehingga suatu saat nanti dapat dibuka kembali.

Dimana salah satu simbolisasi penting dalam prosesi ini adalah air yang disimpan dalam sebuah wadah berupa tempurung kelapa (takulo/ahanggaluku) atau potongan buah maja (obila), air disini merupakan simbol kesejukan. Dengan harapan tanah ladang tersebut akan subur terus sehingga selain tanaman akan tumbuh dengan baik, juga pepohonan yang telah ditebang dapat tumbuh kembali seperti semula.

Dalam prosesi Mohoto Owuta ini dibuat “Pemanua’a” yaitu sebuah bangunan yang dibuat dari empat bagian potongan kayu sepanjang 30 cm yang diletakkan pada sebidang tanah berbentuk persegi yang mengelilingi sebuah pohon kecil sebesar telunjuk yang masih hidup. Keempat potongan kayu tersebut pada masing-masing sudutnya dijepit agar kokoh. Dan di atas bangunan tersebut kemudian akan diletakkan batu asah dan air, sembari membaca doa sebagai berikut;
“ inggo’o kum, inggo’o rundulangi”

Image: Salah satu kegiatan dalam tradisi mondau (Foto: Screen shot Youtube Ashar 87 vlogs)
Image: Salah satu kegiatan dalam tradisi mondau (Foto: Screen shot Youtube Ashar 87 vlogs)

Apabila pemanu’a telah selesai dibuat, selanjutnya dilakukan prosesi menebas tumbuhan di lokasi yang dipilih tersebut sebanyak 4 putaran  mengelilingi bangunan pemanua’a tadi. Pada setiap putaran, peladang diharuskan untuk kembali ke pemanua untuk moramba-ramba, (mengasah-asah) parangnya. Selanjutnya setelah itu selesai maka peladang akan melakukan mobeta (penebasan kecil-kecilan) pada setiap sudut lahannya sebagai penanda  batas calon areal perladangan yang akan diolahnya.

Sebuah catatan, bahwa sebelum mulai melakukan prosesi ini, terdapat tanda-tanda dari alam yang harus diperhatikan. Tanda-tanda tersebut antara lain adalah mendengarkan bunyi-bunyi burung yang merupakan alamat baik dan buruk seperti burung Sui sejenis burung Prenjak, burung Sarere, dan burung Pondu-pondu Belatu (tak tahulah bahasa indonesianya apa).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun