Mohon tunggu...
Chaerul Sabara
Chaerul Sabara Mohon Tunggu... Insinyur - Pegawai Negeri Sipil

Suka nulis suka-suka____

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sekolah di Perantauan: Siapkan Mentalmu sebagai Pemenang

26 Juni 2022   12:46 Diperbarui: 26 Juni 2022   18:00 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi merantau (Sumber: unsplash.com/Michael Barón)

Beda dengan zaman kami dulu, kami punya alarm kalau uang tinggal sekian harus makan yang paling irit, biasanya sih mie instant dengan air kuah yang diperbanyak.

Biasanya sih, kebutuhan hidup di perantauan oleh orang tua telah dijatahkan cukup untuk membiayai kehidupan sehari-hari setidaknya selama sebulan, namun yang namanya anak muda dengan jiwa bebasnya yang masih menyala-nyala terkadang kiriman dari orang tua tidak cukup alias habis di pertengahan jalan. 

Dan biasanya hal begini, pengalaman dari kehidupan di perantauan dulu, dari teman-teman dan jujur saya akui saya sendiri juga, terpaksa berbohong ke orang tua minta biaya untuk ini itu pokoknya dengan berbagai macam alasan, dan pasti orang tua entah bagaimana usaha dan upayanya segera memenuhi permintaan kami demi masa depan anak-anaknya. 

Padahal mungkin saja mereka tahu kalau permintaan kami itu bohong. (Kalau ingat ini jadi sedih dan merasa sangat menyesal, untuk adik-adik jangan melakukan yang seperti ini yah kasihan orang tua kita, bukan saja mereka akan sibuk memenuhi permintaan kita akan tetapi ada kecemasan di dalam hati mereka jika ada sesuatu yang terjadi terhadap anaknya).

Dulu kami apalagi yang anak mami, begitu homesick. Ketika kami berangkat ke perantauan, boleh dikata hubungan dengan orang tua itu terputus, komunikasi kami zaman dulu adalah lewat surat menyurat, kalau kepepet sekali kirim kabar lewat telegram.

Dulu sudah ada jaringan telepon, tapi rata-rata kami tinggal di kosan yang tidak punya telepon, jadi kalau mau berhubungan telepon dengan orang tua, kami ke kantor telepon, tetapi dulu biaya interlokal itu mahal banget, hitungannya per detik dan tergantung zona semakin jauh zonanya semakin mahal tarifnya, sehingga kebanyakan anak rantau itu menelepon dengan cara PTD (biaya telepon dibebankan ke penerima) dan biasanya jam sebelas malam ke atas karena saat itu ada potongan tarif sebesar 50%.

Kalau sekarang ini yang namanya rindu keluarga tidak seberat dululah, mau bicara dengan keluarga kapan saja bisa, bukan hanya saling mendengar suara akan tetapi sambil bervideo call. 

Bahkan kalau mau pulang kampung, moda transportasi tersedia, bahkan ke luar pulau mau naik pesawat jurusan mana saja setiap hari ada penerbangan dengan tarif yang jauh lebih terjangkau.

Beda dengan zaman kami jadwal penerbangan terbatas, ada daerah yang jadwal penerbangannya seminggu sekali, kalau saya dulu itu tiga kali seminggu (Surabaya-Kendari) itupun berangkatnya jam tiga subuh dan tarifnya sangat mahal.

Pilihan termurah untuk pulang kampung untuk anak-anak luar Jawa adalah naik kapal laut milik PT PELNI dengan waktu tempuh perjalanan laut ada yang sehari, dua hari bahkan ada yang sampai seminggu baru tiba di tujuan.

Hidup di rantau zaman sekarang jauh lebih mudah dibanding zaman kami dulu, akan tetapi adik-adik tetap harus ingat tantangan zaman sekarang mungkin jauh lebih besar dan berat daripada kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun