Mohon tunggu...
Chaerul Sabara
Chaerul Sabara Mohon Tunggu... Insinyur - Pegawai Negeri Sipil

Suka nulis suka-suka____

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Indonesia Wajar Kalah, Kualitas "Ayam Sayur" Mana Bisa Menang

19 Mei 2022   21:49 Diperbarui: 19 Mei 2022   21:51 610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
instagram.com/@seagames.id/ via: portalmojokerto.pikiran-rakyat.com

Menyaksikan jalannya pertandingan semifinal sepakbola Sea Games 2022 antara Indonesia vs Thailand, sungguh sangat mengecewakan. Ekspektasi yang sebelumnya begitu tinggi mengingat Timnas Indonesia masih diperkuat oleh hampir sebahagian besar pemain eks piala AFF, ada Egy, Witan, Ricky Kambuaya, Asnawi, Dewangga dkk, bahkan ditambah lagi dengan kehadiran pemain naturalisasi senior sekelas Marc Klok.

Namun apa lacur, apa yang ditunjukkan timnas dalam laga kontra Thailand tadi sangat-sangat mengecewakan. Kesalahan-kesalahan elementer yang sudah tidak seharusnya dilakukan oleh pemain timnas justru masih saja kerap dilakukan oleh pemain-pemain kita, salah oper, salah posisi, salah eksekussi hingga operan-operan yang 'tidak berperasaan' meminjam istilah yang disebut oleh komentator televisi.

Sesungguhnya secara teknis pemain timnas tidak kalah dari pemain lawan bahkan ada pemain kita yang memiliki kemampuan teknis yang lebih baik dari lawan, akan tetapi secara tim dan permainan semua kualitas teknis yang dimiliki oleh pemain kita tidak bisa keluar secara maksimal dikarenakan oleh satu hal yakni mentalitas pemain kita yang justru menampilkan mental pecundang, grogi, panik dan kehilangan konsentrasi serta bermain dengan otot bukan dengan otak. Padahal jika sekiranya para pemain menampilkan kualitas permainan sesuai dengan diri dan jiwanya, menghadapi Thailand dengan kualitas tim seperti tadi hasil akhirnya tentu akan lain.

Apa yang dialami oleh timnas kita ini betul-betul memprihatinkan, selain secara kualitas tim kita bermental 'anak mami', kita juga masih sering dikerjain ketika mengikuti sebuah turnamen, termasuk di sea games ini, bagaimana pihak tuan rumah mengatur pertandingan yang sangat merugikan tim kita dan lebih menguntungkan tim lawan, sudah mengubah jadwal, lokasi pertandinganpun ditempatkan pada stadion dimana pihak Thailand lebih diuntungkan karena bermain di stadion yang merupakan tempat mereka melakukan pertandingan di babak penyisihan hingga mereka selain betul-betul telah mengenal stadion pertandingannya juga tidak perlu melakukan perjalanan jauh lagi seperti timnas kita yang harus melakukan perjalanan sejauh 250 km lebih dari tempat timnas bermain di babak penyisihan.

Begitu juga wasit, jika kita perhatikan di event apapun yang timnas ikuti, hampir selalu ada keputusan wasit yang sedikit kontroversial bahkan ada yang betul-betul kontroversial merugikan timnas kita. Termasuk dalam laga melawan Thailand di semifinal sea games ini, salah satunya saat injury time dengan tambahan waktu 4 menit, saat waktu baru menunjukkan 3,48 menit wasit tiba-tiba meniup peluit tanda waktu habis padahal saat itu Indonesia sedang menyerang dan ada peluang melakukan penetrasi dan serangan berbahaya ke gawang Thailand.

Terlepas dari semua itu, satu kesimpulan yang bisa saya katakan, adalah pelatih harus diganti. Shin Tae Yong adalah pelatih gagal, sebenarnya saya juga sempat keliru dalam sebuah tulisan saya di Kompasiana ini yang menyebutkan bahwa Shin Tae Yong harus dipertahankan saat gagal di piala AFF lalu.

Shin Tae Yong tidak mampu membawa pemainnya bermain dengan jiwanya, ia hanya bisa membawa pemainnya bermain dengan dirinya. Yah, sepakbola Indonesia sekarang ini telah jauh dari ciri dari sepakbola Indonesia di masa lalu. Para pemain hanya bisa bermain dengan 'dirinya' namun kehilangan 'jiwanya'.

Tidak perlu terlalu jauh ke belakang, kita masih ingat pemain kita Herry Kiswanto sang raja tendangan 'gledeg' Indonesia. Yah, Herry Kiswanto dengan tendangan keras mautnya sering kali merobek jala gawang lawan, baik melalui tendangan bebas maupun tendangan langsungnya. Begitu juga kita punya pemain seperti Riki Yakobi dan juga striker mungil tapi menggigit seperti Widodo Cahyono Putro yang gol akrobatiknya di Piala Asia 1996 saat mencetak gol ke gawang Kuwait terpilih memenangkan AFC Asian Cup Greatest Goals Bracket Challenge. Sebagai gol terbaik sepanjang perhelatan Piala Asia.

Dan masih banyak lagi pemain kita yang menunjukkan permainan spektakuler untuk kita kenang. Para pemain-pemain legenda kita, jika kita bandingkan kemampuan teknisnya dengan pemain timnas kita saat ini sebenarnya tidak jauh berbeda, bahkan mungkin beberapa pemain timnas saat ini punya kemampuan yang lebih mengingat ada yang pemain hasil naturalisasi, ada pemain yang mengeyam bermain di klub Eropa dll.

Yang membedakan pemain dulu betul-betul bermain dengan jiwanya, banyak pemain yang mampu melakukan sepakan lebih keras dari sepakan Herry Kiswanto, namun sepanjang pertandingan yang kita lihat dilakoni oleh timnas sekarang ini, begitu jarang bahkan boleh dibilang belum ada tendangan gledeg jarak jauh yang pernah dilakukan oleh pemain kita, meski walaupun tidak menjadi gol tapi setidaknya membahayakan gawang lawan saja tidak pernah kita saksikan, kenapa karena tendangan seperti itu biasanya lahir dari jiwa yang berisi semangat diri, semangat nasionalisme.

Begitu juga dengan gol salto Widodo C Putro banyak yang punya kemampuan untuk melakukan gol seperti itu. Namun, tidak bisa melakukannya kalau tidak ada semangat totalitas dari jiwa, semangat nasionalisme atau setidaknya semangat identitas kedaerahan yang tumbuh dari iklim kompetisi lokal yang berkualitas.

Kita lihat seperti Ricky Kambuaya, kemampuan teknisnya cukup mumpuni, namun sayangnya kualitas teknis itu belum tereksplore dengan totalitas seperti pendahulunya di timnas dulu sebut saja Rully Nere, Metu Duaramuri, Adolof Kabo dan legenda Persipura Timo Kapisa, yah mereka-mereka ini bermain bola dengan sepenuh jiwanya, dengan kebanggaan membela klubnya yang waktu itu masih ada dua kutub pembinaan sepakbola ada perserikatan dan ada Galatama.

Mungkin kompetisi jaman sekarang secara kualitas teknis jauh lebih baik dari yang dulu. Namun, terus terang kompetisi jaman dulu hadir dan menghadirkan jiwa dan semangat heroik meski heroiknya dari sudut yang sempit yaitu 'kedaerahan' bagaimana semangatnya anak medan dengan PSMSnya, anak Makassar dengan PSMnya, Anak Surabaya dengan Persebayanya dan anak Bandung dengan Persibnya serta anak Papua dengan Persipuranya dan Perseman Manokwarinya. Atau dalam kancah kompetisi Galatama bagaimana bangganya anak Medan dengan Pardedetexnya, arek Suroboyo dengan Niac Mitranya, anak Makassar dengan Makassar Utamanya, dan anak-anak Jakarta dengan Warna Agung dan Tunas Intinya, berikutnya ada anak Solo dengan Arseto Solonya.

Yah, iklim kompetisi jaman dulu dengan segala kekurangannya, tetapi kita dapat melihat betapa jiwa dan semangat kebanggaan atas klub oleh pemain betul-betul hadir dalam diri dan jiwa pemain dan itu terus terbawa hingga ketika mereka bermain atas nama timnas, jiwa dan semangat Indonesia itu mengalir di dalam diri pemain. Dan itu terus terang saja telah hilang dari iklim sepakbola kita sekarang.

Persoalan yang kita hadapi, bukan dari ketersediaan pemain yang berkualitas. Begitu banyak talenta-talenta kita yang memiliki kemampuan yang memenuhi standar sebagai pemain sepakbola. Yang kurang dari kita adalah pembinaan yang berkarakter dan berkesinambungan. Kita seharusnya tidak boleh lagi terjebak dalam pembinaan sepakbola yang berorientasi pada hasil instant, juara ini atau juara itu, kita tidak perlu lagi ada perdebatan antara pelatih lokal-pelatih asia-pelatih eropa-pelatih latin. Yang  kita butuhkan adalah pelatih yang bisa membangun karakter tim, pelatih yang bisa menghadirkan jiwa-jiwa merdeka, jiwa-jiwa nasionalisme dari para pemain yang dulu menjadikan kita tim yang ditakuti oleh lawan hingga sering kali untuk mengalahkan kita pihak lawan harus melakukan kecurangan termasuk kecurangan melalui wasit yang memimpin pertandingan.

Satu lagi terkait nasionalisme ini adalah berkenaan dengan kostum timnas, yang sangat mengherankan adalah kita sering menyebut timnas Indonesia dengan sebutan timnas merah-putih, tapi lucunya jersey yang kita kenakan kok merah-merah dan malah ada warna kehitaman di bagian punggung atas baju, hanya tulisan nomor, nama dan list kerah saja yang putih.

Sudahlah kita tidak usah bermimpi selagi pola dan model pembinaan sepakbola kita masih seperti ini jangan harap ada kemajuan, tidak lama lagi kita akan dibuat malu jika bertemu dengan timnas Timor Leste atau Brunei Darussalam. Langkah prioritas Shin Tae Yong harus out, iklim kompetisi harus dikembalikan pada ruh kompetisi jaman perserikatan dan Galatama dalam artian, misalnya orang papua main di PSM dia akan menjadi orang dengan jiwa Makassar seperti dulu saat Izaac Fatari memperkuat PSM Makassar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun