Mohon tunggu...
Chaerul Sabara
Chaerul Sabara Mohon Tunggu... Insinyur - Pegawai Negeri Sipil

Suka nulis suka-suka____

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kesaktian Pancasila, Haruskah Dipertanyakan

5 Oktober 2021   23:52 Diperbarui: 5 Oktober 2021   23:56 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: dok. Setneg  via kompas.com

Setiap akhir September hingga awal Oktober, selalu saja kita disuguhkan dengan isu lawas yang selalu baru dan diperbaharui, apalagi kalau bukan isu kebangkitan kembali PKI dengan paham komunisnya, yang memang hingga saat ini kewaspadaan terhadap komunisme sebagai bahaya laten di republik ini masih belum dihapuskan.

Dan ini selalu menjadi pro-kontra yang sengit, disatu pihak ada yang percaya bahkan sangat percaya bahwa kebangkitan PKI/Komunis sudah sangat nyata menggejala dalam kehidupan baik secara sosial maupun politik. 

Namun dipihak lain, menganggap ini isu murahan, isapan jempol dan hanya komoditas atau jualan politik orang-orang tertentu, benarkah.?

Hal pertama yang harus direnungkan ialah bagaimana pandangan dasar kita tentang bernegara, terutama pandangan bernegara pasca digagalkannya pemberontakan PKI, lewat gerakan 30 September atau yang kita kenal sebagai G30S PKI.

Bahwa sebelum G30S PKI atau masa orde lama, pandangan bernegara kita masih dipengaruhi polarisasi pandangan politik, yakni kutub nasionalis, agamis (Islam) dan komunis. Ini yang coba dijembatani oleh mendiang founding father bangsa ini, presiden Soekarno dengan Nasakomnya.

Namun sebagaimana yang kita ketahui dan lihat sendiri bahwa adalah hal yang mustahil menyatukan ketiga kutub ini, jika kita mengibaratkan dengan minuman kopi (agamis), susu (nasionalis) dan soda (komunis), jika diminum sendiri-sendiri maka tidak ada masalah kenikmatannya bisa dinikmati, jika kopi dicampur dengan susu kenikmatannya mungkin bertambah, tapi jika ditambahkan soda maka minuman yang seharusnya nikmat akan menjelma menjadi racun yang membahayakan. 

Ilustrasi kopi, susu dan soda di atas memang demikianlah adanya, tak mungkin menyatukan ketiga kutub tersebut, Nasakom akan menjadi racun, karena secara alamiah begitulah adanya.

Pasca G30S PKI atau kita sebut saja orde baru,  konsensus yang "wajib" kita terima bersama bahwa pandangan bernegara kita adalah satu yakni Pancasila dan ini bersifat final, meski oleh beberapa gelintir kalangan dianggap sebagai penekanan bahkan cenderung sebagai pemaksaan ideologi, apalagi dengan diundangkannya kebijakan azas tunggal.

Kembali kepada persoalan pro-kontra di atas, marilah kita berani jujur (baik yang pro maupun yang kontra), bagaimana kondisi dan kenyataan "sosial" dan juga "politik" yang terjadi di masyarakat. 

Apakah Pancasila masih eksis,? masih relevankah,? atau sudah bergeser ke bentuk demokrasi liberal atau bahkan mungkin ke ideologi lain dengan berselimut kata "demokrasi" namun tak demokratis.

Apakah kehidupan bernegara kita di masa lalu tidak lagi terlihat di era reformasi ini, kita tak lagi melihat bahwa negara dan kekuasaan politik sebagai alat dalam kompleksitas pertentangan.? 

Dimana di masa lalu, negara dan kekuasaan politik bukan dimaksudkan dan ditujukan untuk memperlihatkan sikap "luas, serba menaungi dan memangku seperti lautan", tapi untuk menggebuk siapa yang dianggap lawan. 

Suasana permusuhan yang terus dipelihara dan disetting. Kecurigaan jadi sikap yang terpuji dengan diberi nama "kewaspadaan". Apakah ini sudah tidak terlihat lagi sekarang.?

Apakah ketakutan dan ketidakpedulian masa lalu sudah tidak ada lagi di masa kini di era reformasi ini.? Bila sekelompok orang, rakyat, buruh dan mahasiswa pada suatu pagi ramai-ramai batuk, atau bertepuk, atau bersin-bersin di jalan, di parlemen. 

Hampir bisa dipastikan bahwa seorang pembesar akan berbisik-bisik: "Mereka itu ditunggangi."

Apakah sekarang sudah takada lagi terutama dalam aparat pemerintahan, "kultur intel," dengan teriakan hampir tiap Minggu bahkan hari tentang adanya ancaman, dan pelototan mata hampir tiap saat ke arah luar pintu menebak musuh. 

Adapun tentang siapa yang musuh dan siapa yang bukan, tentu saja si berkuasalah yang menentukan. Si tertuduh tak banyak kesempatan (apalagi hak) membantah.

Masih saktikah Pancasila,? seharusnya iya. Yang jadi soal ialah: apakah generasi muda kita yang tidak melewati dan apalagi merasakan bagaimana kelabunya nasib bangsa ini saat pemberontakan-pemberontakan PKI terjadi di masa lalu, dapat mengetahui dan menyadari bahwa semangat totaliter Marxisme-Leninisme bisa seperti candu, yang terus mempengaruhi sikap dan pandangan seseorang tanpa disadarinya sendiri. 

Dan lebih parahnya lagi apakah generasi muda ini menyadari bahwa candu itu tentulah bukan candu bagi rakyat. Sebab, rakyat ternyata bukan yang jadi hakim, bukan pula yang jadi jaksa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun