Mohon tunggu...
Chaerul Sabara
Chaerul Sabara Mohon Tunggu... Insinyur - Pegawai Negeri Sipil

Suka nulis suka-suka____

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Seorang Skizofrenia

16 Juni 2020   16:08 Diperbarui: 16 Juni 2020   16:13 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Gambar. Sumberpost.com

Aku baru selesai makan siang dengan seorang temanku Rafka, si penulis buku yang menemaniku untuk menuangkan segala apa yang ada di dalam alam pikiranku agar menjadi sebuah tulisan yang asyik untuk dibaca. Sudah jam dua lewat. Aku sudah di dalam KRL untuk pulang menuju rumah. Badanku terasa berat dan capek, namun aku merasa senang mendengarkan suara kakiku di koridor kereta, aku berjalan sambil sengaja menghentakkan kakiku keras keras agar bunyinya semakin nyaring, aku begitu senang mendengar bunyi kakiku yang seperti sebuah suara nyanyian seriosa yang dibawakan oleh Luciano Pavarotti. 

Tiba-tiba, seorang pemuda yang sedang berjalan ke arah berlawanan dan menegurku, kelihatannya ia telah lama mengamati gerak gerikku. "Maaf, apakah kamu punya telinga untuk mendengar suara ribut yang yang kamu buat?" katanya sambil memelototkan mata ke arahku. Aku menjawab "tidak" sambil tersenyum kecil dan semakin memperkeras hentakan kakiku. 

Pemuda itu berkata, "Kalau begitu berarti kamu tidak punya otak?" Aku menjawab "tidak, tentu saja tidak, mana mungkin", kemudian dengan sedikit sedih aku berkata: "Ya, mungkin saja." Pemuda ini terlihat mulai emosi, seperti menahan amarah, dan matanya merah berkilat. Penampilannya agak aneh. Ia berjalan terus melewatiku dengan bersungut sungut, seakan-akan diriku ini adalah monster. Sama seperti diriku. Aku melihat ada bayangan monster dalam sosoknya yang menyedihkan. 

Aku melihatnya sebagai percobaan genetik yang gagal. Mukanya yang lonjong, dahinya, sorot matanya seharusnya dia terlahir sebagai dinosaurus. Namun aku malah senang dibuatnya, aku mencoba mengejarnya. Namun tangan Rafka cepat memegangku  dan menarikku untuk duduk di kursi yang kosong. 

Aku meradang, pemuda itu telah membuatku sangat marah, bayangannya seperti tertinggal dimataku, dan suara jeleknya terus menerus memaki diriku. "Monster" begitu terus terngiang ngiang di telingaku, rasa benci itu merasuk dalam ke alam pikiranku, aku menjadi begitu muak dan seperti ingin muntah, tapi Rafka tak pernah melepaskan tangannya dariku sampai kereta tiba di stasiun.

Begitu sampai di stasiun, aku langsung keluar dari dalam kereta. Rafka cepat cepat ikut turun di belakangku. Aku berjalan terus mencoba meninggalkannya. Tidak ada gunanya. Aku buru-buru turun ingin segera sampai ke rumah, namun akau merasa begitu berat dan lelah, aku berjalan seperti robot, yang justru mengundang perhatian orang orang di sekitarku. Tapi Rafka dengan langkahnya yang ringan menyusulku dan tahu-tahu ia sudah berada tepat di depanku. 

Rafka lalu memintaku untuk berhenti dan menyuruhku duduk sembari memberiku sebuah pena, juga buku yang selalu kubawa namun dipegang oleh Rafka. Nada suaranya sekarang berubah. Memohon dengan nada suara yang terdengar begitu khawatir. Aku terdiam sejenak, mengambil nafas, lalu segera melanjutkan. "Jangan kau melarangku berhenti sekarang" kataku singkat pada Rafka. Rafka berkata: "Ah, kamu salah mengerti. Bukan itu maksudnya! kamu salah." kata Rafka dengan suara yang semakin sedih. 

Angin sepoi sepoi membuat kesedihannya jadi terasa macho. Kemachoan yang membuatku terhenyak, dan seakan-akan mendengar tiang-tiang berkata kepadaku. "Kamu bertemu malaikat di sini, yang di koridor kereta tadi kamu bertemu dengan monster, lalu kenapa sekarang kamu berpikir malah ingin meninggalkannya?". Ingatan tentang petualanganku saat mengejar misteri di masa lalu, waktu aku pertama kali menemukan arti dari kehidupan dan puisi, memenuhi kepalaku. 

Ingatan ini sangat menghiburku aku berusaha mengingatnya. "Aku tidak akan tergoda oleh ketidakpastian, tidak seperti dulu, aku sudah melalui terlalu banyak penderitaan" aku berkelahi dengan pikiranku sendiri, mencoba membela Rafka yang semakin sedih di hadapanku. "Berubah pikiran itu tidak akan menambah penderitaan. Tenanglah Kamu tidak akan menertawakan ketololanmu sendiri." Kata Rafka menghela napas. Siang ini rasanya begitu kering, akupun kemudian meminta minum kepada Rafka yang selalu membawa minuman dingin di dalam tasnya. 

Jalanan hari ini tidak seperti biasanya, yang  seperti jalan kampung yang tenang, siang ini begitu ramai dan jalan berlapis debu. Dan di langit tidak ada awan sama sekali. Aku segera berhenti dan duduk di bawah sebatang pohon yang rindang, dan wajah sedih Rafka mengalihkan perhatianku dari suara suara yang selalu mengganggu ketenangan jiwaku. Tadi pagi di taman aku baru menuliskan puisi yang kuberi judul Malaikat Yang Dikirim Dari Surga, yang diilhami oleh perhatian Rafka terhadapku.

Menulis puisi ini rasanya entah mengapa seperti menonton drama cinta. Puisi inilah yang membuatku merasa betapa indahnya hidup. Rafka adalah mentari yang menggerakkan penaku menulis puisi ini. Bagaimana tidak? Rafka sepertinya tahu apa yang telah terjadi denganku, aku menyelesaikan menulis puisi ini dengan perasaan terbang ke awang awang. Aku tidak perlu meyakinkan diriku lagi. Semangat dan ilham datang bersamaan dengan kenyataan yang mengalir silih berganti bersama senyum Rafka yang meruntuhkan egoku. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun