Mohon tunggu...
Christine Mariska
Christine Mariska Mohon Tunggu... Ibu Rumah Tangga -

-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mudahnya Menggunakan Aplikasi Uangku

27 Desember 2016   02:45 Diperbarui: 27 Desember 2016   11:09 1866
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber photo dari halaman web UANGKU

Ada suasana berbeda antara berbelanja antara saat masih berstatus gadis dengan setelah menyandang status emak-emak. Walaupun memang sekarang baru memiliki seorang anak yang sekarang 19 bulan, belum sampai 11 anak seperti igauan suami saya yang ingin bikin klub sepak bola. 

Dulu saat masih gadis, selama masih tidak sibuk di kantor, akan lebih leluasa berpetualang dari satu toko ke toko lain, dan dari satu tempat dari tempat lain. Sekarang, kesempatan itu sudah menjadi hal asing.

Kenapa asing? Ya karena anak satu-satunya menuntut prioritas beda, karena ini manusia, dan dia butuh perhatian. Mendesakkan keinginan khas ibu-ibu yang kerap hanya mendadak bahagia dengan berbelanja, bisa saja berisiko mengorbankan kebahagiaan si kecil yang membutuhkan perhatian penuh ibunya.

Dalam dilema seperti ini, iya dong anak tetap harus dinomorsatukan. Bahkan lho ya, karena anak, suami pun terkadang terpaksa dinomorduakan karena anak. Syukur sih, sejauh ini suami terbilang demokratis. Terkadang dia mau turun ke dapur dari ngulek sampai dengan masak, saat si kecil sedang kumat manjanya di level maksimal dan tak mau lepas dari gendongan.

Itu lho ya, baru urusan dapur tak seleluasa yang terbayang di benak saya di masa remaja yang mengkhayalkan bisa memiliki asisten rumah tangga, dan bayangan indah lainnya. Masa remaja dengan masa menikah betul-betul terasa seperti sedang bermigrasi dari planet yang tenang penuh bunga masuk ke planet yang jauh lebih kompleks.

Tapi saat-saat si kecil manja pun mengingatkan saya ke diri sendiri di masa-masa sebelum menikah, terutama saat masih jadi orang kantoran ceritanya. Walaupun masih senang "mengelilingi dunia" atau mal ke mal, satu lokasi shopping ke lokasi lainnya, tapi ada juga kumat manjanya.

Jadi saat itu, belanja online tuh hanya untuk memenuhi keinginan memanjakan diri sendiri. Ketika pesanan datang, rasanya seperti menerima sebuah hadiah. Padahal saya sudah tahu isinya, tapi tetap saja ada sensasi perasaan senang yang sulit dijelaskan.

Suatu waktu, saya tergoda membeli satu sweater karena melihat model cewek Korea yang mengenakannya sangat mempesona di media sosial. Cantiknya model itu seperti menanjak naik berkali lipat dengan sweater yang dipakainya itu sampai lupa teori kalau kecantikan dari dalam jauh lebih penting daripada sekadar polesan dari luar. Gambar yang dipajang pemilik online shop betul-betul bikin ngiler. Jadinya, saya sudah tidak sabar menantikan sweater itu, berharap sedikitnya saya kecipratan lah mirip sama model mbak Korea itu.

Begitu semangatnya saya memesan, saya tidak terpikir untuk menanyakan detail spesifikasi sweater pesanan saya tersebut. Saya malah secepatnya lari ke ATM untuk transfer dengan harapan penjualnya pun bisa secepatnya mengirimkan pesanan saya. Dua tiga hari saya tunggu, kok kurir angkutan tidak ada yang mampir juga ya. Ketika saya tanyakan tentang pesanan saya ke penjual, dengan entengnya dia bilang, "Oiya sis maaf, barangnya baru dikirim besok ya biar sekalian sama yang lain". Jawaban itu sempat bikin saya mendadak ingin jadi kanibal (tuh kan ekstrem kan lamunan saya jadinya).

Tidak sampai disitu. Ketika pesanan saya tiba, kedongkolan saya makin bertambah dengan barang yang tidak sesuai dengan gambar! Sweater putih yang saya pesan berbahan tipis sehingga menerawang jika dipakai. Ekspektasi saya bisa bergaya bak model Korea sirna sudah. Yang ada, lamunan ingin jadi kanibal mendadak muncul lagi.

Jadi bukan mengada-ada jika melongok situs UANGKU disebutkan ada 26 persen konsumen Indonesia adalah korban penipuan online. Walaupun, yang saya alami dulu tuh memang tak sepenuhnya tertipu yang gimana banget, karena ada kesalahan saya juga yang tidak nanya-nanya dulu, tapi tetap saja "tertipu" karena ekspektasi dengan realita jauh banget.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun