Mohon tunggu...
Pendidikan

Tragedi Terlukanya Kemanusiaan

14 Mei 2019   20:11 Diperbarui: 14 Mei 2019   20:20 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dalam upaya penjaringan, pelaku atau yang biasa disebut traffickers menargetkan orang-orang yang lemah secara ekonomi dan intelek, seperti kaum miskin dan anak putus sekolah. Di hadapan calon korban, pelaku menghadirkan dirinya sebagai pembebas dengan mengatakan janji manis perihal pekerjaan yang ditawarkan beserta penghasilan yang menggiurkan. Sebagian besar pelaku juga menggunakan taktik manipulasi untuk menipu korban dengan cara intimidasi, rayuan, pengasingan, ancaman, penculikan, dan penggunaan obat-obatan terlarang.

Setelah terjebak dalam janji manis, korban dimanfaatkan oleh mafia perdagangan untuk kepentingan mereka. Korban dibawa ke tempat transit atau ke tempat tujuan. Biasanya, agen atau calo menyertai mereka dan menanggung biaya perjalanan. Untuk ke luar negeri, mereka dilengkapi dengan visa turis, tetapi seluruh dokumen dipegang oleh agen. Seringkali perjalan dibuat memutar untuk memberi kesan bahwa perjalanan yang ditempuh sangat jauh sehingga sulit untuk kembali. 

Di tempat tujuan, mereka tinggal di rumah penampungan untuk beberapa minggu menunggu penempatan kerja yang dijanjikan. Nyatanya, mereka dibawa ke bar, pub, salon kecantikan, rumah bordil, dan rumah hiburan lain untuk dilibatkan dalam kegiatan prostitusi. Para korban diminta untuk menandatangai kontrak yang tidak mereka mengerti isinya. Jika mereka menolak, maka mereka akan diminta untuk membayar biaya perjalanan dan 'tebusan' yang diajukan dari agen atau calo yang membawanya. 

Pada akhirnya para korban terjerumus dalam eksploitasi tenaga kerja tanpa adanya sistem kerja, syarat kerja, perlindungan kerja, dan upah kerja yang jelas. Mereka ditawan, dilecehkan dan dipaksa untuk bekerja di luar keinginan mereka. Korban ditempatkan dalam kondisi seperti perbudakan yang tidak lagi memiliki hak untuk menemukan nasib sendiri dan hidup dalam situasi ketakutan dengan rasa tidak aman. Kondisi tersebut diperburuk oleh keadaan ketika dia tidak memiliki identitas yang jelas sehingga sulit dan akan menambah masalah bagi korban apabila meminta bantuan kepada pihak yang berwenang. Hal ini meninggalkan kesan bahwa status manusia sangat dibedakan.

Laporan International Organization for Migration (IOM) menyebutkan jumlah korban perdagangan manusia di Indonesia antara tahun 2005 hingga 2017 mencapai 8876 orang. Berdasarkan bukti empiris, kelompok terbanyak yang menjadi korban dari tindak pidana perdagangan manusia adalah perempuan dan anak-anak. Korban diperdagangkan tidak hanya untuk tujuan prostitusi atau eksploitasi seksual lainnya, tetapi juga mencakup bentuk eksploitasi lain, misalnya kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktik serupa perbudakan itu.

Pada dasarnya, perdagangan perempuan dan anak merupakan bentuk kekerasan seksual dan kejahatan kemanusiaan yang sangat serius pada era globalisasi sekarang ini. Mereka dipaksa dan disiksa demi kepentingan segelintir orang yang mengakibatkan kondisi fisik dan mental mereka rusak serta tergradasi. Eksploitasi perempuan dan anak dalam dunia prositusi adalah pertentangan hak asasi manusia karena telah mereduksi tubuh mereka menjadi komoditi. Mirisnya, bagi segelintir orang khususnya pengguna jasa prostitusi dan mereka yang berpenghasilan dari dunia prostitusi, perdagangan perempuan dan anak dianggap sebagai suatu 'kenikmatan'.

Bentuk perdagangan perempuan dan anak tidak hanya terbatas pada prostitusi paksaan atau perdagangan seks, melainkan juga meliputi bentuk eksploitasi, kerja paksa, dan praktek seperti perbudakan di beberapa wilayah dalam sektor informal, termasuk kerja domestik dan istri pesanan. Berbagai bentuk kekerasan pun dialami oleh korban, seperti kekerasan fisik, psikologis, sosial, dan ekonomi yang dialami sejak perekrutan sampai berada di tempat kerja.

Di Indonesia, praktik perdagangan perempuan identik dengan kekerasan dan pekerjaan yang diketahui paling banyak dijadikan sebagai tujuan perdagangan perempuan dan anak yaitu, buruh migran, pekerja seks komersil (PSK), perbudakan berkedok pernikahan dalam bentuk pengantin pesanan, pekerja anak, pekerja di jermal, pengemis, pembantu rumah tangga, adopsi, pernikahan dengan laki-laki asing untuk tujuan eksploitasi, pornografi, pengedar obat terlarang dan dijadikan korban pedofilia. Maraknya trafficking yang terjadi di Indonesia disebabkan karena Indonesia tidak hanya sebagai negara sumber, transit maupun penerima, akan tetapi Indonesia juga menjadi negara yang termasuk bagian dari sindikat internasional.

Dalam persoalan kemanusiaan ini, manusia tidak lagi memandang sesamanya sebagai sesama manusia yang mesti dihargai. Aktus perdagangan manusia telah menihilkan nilai kemanusiaan manusia. Kenihilan kemanusiaan yang dimaksud adalah manusia yang satu mengeksploitasi manusia yang lain secara tidak manusiawi untuk kepentingan sepihak. Pada titik ini, manusia menjadi serigala bagi manusia yang lain. Sisi serigala tersebut terlihat dari upaya manusia untuk mendeterminasi secara ekstrim manusia lain.

REFLEKSI

Dari pembahasan dapat diketahui bahwa tindakan human trafficking sudah sangat menyimpang dari nilai yang terkandung dalam pancasila khususnya sila kedua. Nilai kemanusiaan yang adil mengandung suatu makna bahwa hakikat manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan beradab harus bekodrat adil sedangkan dalam perdagangan manusia tidak diakui martabat kemanusiaan dan kemerdekaan dari setiap individu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun