Mohon tunggu...
Christine Gloriani
Christine Gloriani Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Pembaca yang belajar menulis

Pembaca yang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Eksperimen Cinta 2, Bukan Elang tapi Bunglon

30 Desember 2018   05:10 Diperbarui: 30 Desember 2018   07:09 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Pixabay.com

"Tinggal tiga bagian saja. Lebih baik aku tanya Fahmi." Kusodorkan buku Elang kembali ke tempat semula.

"Mana yang kurang?" Elang memandangku dengan tajam membuat bulu kudukku berdiri. Wajahnya terlihat mengerikan.

"In ... ini, ini, dan ini," ujarku terbata.

Ekspresinya berubah lembut saat menerangkan padaku. Dia lebih cocok dipanggil bunglon dari pada elang. Sikapnya berubah dengan cepat disetiap kondisi.

Praktek hari ini berakhir sudah. Aku melambaikan tangan pada Rindu yang masih mengikuti kelas Bakteriologi. Sudah tak sabar ingin segera sampai rumah. 

"Lok, sorry. Hari ini aku tidak bisa pulang sama kamu. Aku ada janji dengan Rindu. Kamu pulang sendiri nggak papa kan?" Hera mengatupkan dua telapak tangan untuk meminta maaf. Wajahnya terlihat penuh penyesalan membuatku tak tega.

"Nggak papa kok, Hera." Aku memaksakan diri tersenyum. "Pulang duluan ya."

Aku melangkah dengan lambat tapi ternyata masih tetap terlalu cepat untuk sampai di perempatan besar ini. Telapak tanganku mulai berkeringat. Aku mulai susah bernapas. Kuangkat kaki kanan, memaksakan diri melangkah tapi kakiku kembali kuletakkan di tempat semula. Aku merasa tak sanggup menyebrang sendirian. 

Menoleh ke kanan dan ke kiri. Jalanan ramai sekali. Bis-bis besar melaju dengan kencang membuat nyali semakin ciut. Aku butuh seseorang untuk menolong menyeberang jalan.

Penolong itu datang dalam bentuk Elang. Tangan kananku terulur hendak meraih jemari tangan Elang tapi tangan itu berhenti di udara. Apa Elang akan marah kalau tiba-tiba kugandeng. Dengan lesu, tangan kembali turun.

Mataku melotot tak percaya saat merasakan gengaman. Aku memandang kedua tangan yang saling bertautan. Jalanan seolah menghilang karena mendapati Elang tersenyum saat mengangkat tangan kami. Dia menuntunku melewati perempatan yang ramai, ketakutan hilang seketika. Bagiku ini seperti berjalan berduaan di tengah taman yang penuh bunga warna-warni. Bahkan suara musik lembut tiba-tiba terdengar. Ah, indahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun