Mataku melotot lebih lebar. Aku malas menjawab pertanyaannya. Jangan-jangan dia menjadikan kelemahanku ini sebagai senjata untuk mengolok-olok sepanjang waktu.
"Elok, ayo keluar." Fahmi sudah menghampiri untuk mengajakku ke praktikum berikutnya. Kami memang kompak sebagai pasangan, tapi sekarang dia bukan partnerku lagi.
Hampir saja aku duduk di tempatku yang biasanya. Fahmi tersenyum geli sambil menunjuk kursi sebelahnya. Aku menghembuskan napas kasar. Mulai sekarang harus membiasakan diri dengan perubahan yang tidak menyenangkan ini.
"Cacingan, asma, alergi?" Elang sudah duduk di sebelahku.
Tumben-tumbenan cowok satu ini banyak bicara. Biasanya dia selalu jaim dan terkesan seperti cowok pendiam. Apa dia belum minum obat sampai jadi seperti ini.
"Iya, aku punya alergi," ujarku ketus.
Elang menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Dia mendekatiku agar dapat mendengar lebih jelas. "Aku benar kan? Kamu alergi apa?"
"Alergi kamu. Alergi dekat-dekat sama manusia bernama Elang." Aku pura-pura bersin agar suasana makin dramatis.