Mohon tunggu...
tinaa
tinaa Mohon Tunggu... -

:)

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan featured

Antara Diabetes, Gaya Hidup dan Beban Pikiran

27 Juni 2016   11:43 Diperbarui: 14 November 2018   14:12 1294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Thinkstock

Diabetes seringkali dikaitkan dengan keturunan dan gaya hidup seseorang; bagaimana riwayat keluarganya, apa yang dia makan, seperti apa aktivitas fisiknya sehari-hari, dan semacamnya. Sebagian besar kasusnya memang wajar apabila dipengaruhi hal-hal tersebut. 

Sebagai orang awam, apa yang sering saya dengar adalah penyakit tersebut adalah penyakit seumur hidup, kalau sudah kena ya tidak bisa sembuh, hanya saja bisa dikontrol agar tidak tinggi terus, selain jaga makanan, olahraga, bisa dengan konsumsi obat seumur hidup atau semacamnya.

Satu hal yang paling sering disalahkan adalah tentang makanan. Maka produk yang disinyalir rendah gula laris dipasaran, iklan terkait bertaburan, terkadang cenderung menakut-nakuti, mungkin supaya produknya banyak dibeli mereka yang khawatir terkena diabetes. Pun tidak semua orang mengerti atau tahu, zat apa tepatnya yang dikandung dalam produk tersebut atau efek sampingnya. 

Oke saya tidak akan berkomentar lebih banyak. Saya juga tidak tahu. Anehnya, saya mengamati pada beberapa orang di keluarga saya, meskipun makanan dan minuman dijaga, tidak menjamin kadar gula darah pada penderita diabetes akan langsung berkurang. Bude saya penderita diabetes, meskipun rajin minum obat dan makannya dijaga, gula darahnya masih cenderung tinggi. Konsumsi obat penurun kadar gula darah pun seolah-olah menjadi sebuah ketergantungan.

Bagi saya pribadi, ada faktor lain yang juga mempengaruhi, yaitu tingkat kesehatan batinnya; apakah ada beban pikiran, stress, luka atau trauma yang dialami dan terus menerus dipikirkan? 

Beban pikiran atau stress seringkali sifatnya seperti racun atau sumber penyakit. Oke, pernyataan ini bukanlah pernyataan medis dan kesimpulan saya semata melihat beberapa kasus yang saya amati di keluarga saya.

Beberapa bulan lalu, ibu saya, yang adalah penderita diabetes, mengalami kecelakaan kecil, di saat gula darahnya tinggi. Hal ini adalah yang paling ditakuti terjadi pada penderita diabetes. Pada penderita diabetes, luka cenderung lebih sulit/lama sembuhnya. Tingginya gula darah bisa menghambat asupan nutrisi ke jaringan yang terluka sehingga jaringan tersebut bisa mati apabila kadar gula tidak bisa terjaga.

Singkat cerita tungkai kanannya tersobek, operasipun harus menunggu hingga keesokan harinya karena gula darahnya masih sulit turun. Dari apa yang saya amati, meskipun secara terpaksa (karena ibu saya tidak pernah diberikan insulin dari luar sebelumnya) ibu saya diberikan insulin dengan dosis cukup tinggi untuk mempercepat penurunan kadar gula darahnya, hal itu tidak berpengaruh banyak ketika ibu masih stress, takut, gelisah dan khawatir. Ketika ibu saya bisa meluapkan semua perasaannya, dalam tangis beberapa jam sebelum operasi, dan benar-benar bersedia mendengarkan saran keluarga untuk rileks, percaya dan pasrah, barulah gula darahnya perlahan turun.

Dari kejadian itu, saya melihat sendiri betapa luar biasanya sikap sederhana seperti santai, pasrah dan percaya.

Ibu saya mengalami debridement dua kali di meja operasi. Karena di masa-masa awal, sulit sekali menjaga kestabilan emosi beliau, dan setelah operasi pertama, lukanya tidak cukup baik. Selama pemulihan, setiap saat yang diingatkan hanyalah tentang pasrah, santai, percaya, bersyukur, dan tersenyum. Meskipun sejujurnya sulit sekali tetap berada dalam keadaan tersebut terus menerus, karena ada banyak hal, selain kecelakaan tersebut, yang belum bisa dilepaskan secara ikhlas oleh ibu saya. 

Namun perlahan-lahan, ibu saya bisa mengalami sendiri (bukan hanya dari ucapan orang di sekitarnya) bahwa hal-hal sepele seperti letting go dan santai, bisa membawa banyak hal luar biasa pada dirinya. Jaringan lukanya perlahan tumbuh dengan baik dan bisa menutup dengan sendirinya tanpa kami perlu melakukan skin graft untuk menutup luka. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun