Saya adalah potret dari bapak saya. Kalau ada yang bilang anak seperti bapaknya, mungkin saya adalah salah satu yang mewakilinya. Bapak berambut keriting dan sorot matanya tajam seperti matahari baru saja bersinar di langit timur. Kata Ibu, saya benar-benar persis seperti Bapak.
Entah mengapa Bapak pergi dari rumah saat saya masih di dalam kandungan Ibu. Menurut penuturan Ibu, cepat atau lambat, Bapak akan pulang. Tetapi, ternyata Bapak tak kunjung pulang saat saya sudah bisa berjalan, berlarian, dan mengucapkan kata "bapak".Â
Ya, bulan telah berganti bulan, dan tahun pun telah menjemput musim baru, namun Bapak belum pulang juga, membiarkan kerinduan demi kerinduan merana dalam kesunyian. Kerinduan seorang anak kepada bapaknya.
Kakak-kakak saya memang lebih senang apabila Bapak tidak ada di rumah. Mungkin karena mereka menjadi bebas bermain sesuka hati, tanpa ada yang menegur bila berbuat  kesalahan. Namun tidak dengan saya yang selalu merindukan Bapak, yang tiap kali kakak-kakak saya bercerita tentang Bapak, saya semakin merindukan Bapak.
Saya memang terlalu rindu Bapak, hingga pada suatu pagi saat saya sedang bermain di jalanan, di antara orang-orang yang berlalu lalang, tiba-tiba saja saya berteriak memanggil orang-orang itu, "Bapak...!".Â
Pada waktu itu, saya berpikir mungkin saja salah satu di antaranya itu adalah bapak saya. Â Orang-orang itu kemudian mengelus kepala saya sebelum berlalu. Namun sayang sekali ada seseorang yang langsung menjawab dengan nada sumbang kepada saya, "Aku bukan bapakmu!"Â
Nama orang itu adalah Pak Paijan, yang baru saya ketahui setelah diberitahu Ibu. Sepertinya Ibu menjadi murka dan menegur Pak Paijan hari itu.
Setelahnya, Ibu segera menghampiri saya dengan wajah yang sudah kembali tenang, "Pak Paijan bukan bapakmu, Le. Bapakmu berambut keriting dan sorot matanya tajam seperti matahari baru saja bersinar di langit timur. Persis seperti kamu, Le."
Saya mendengar perkataan Ibu hari itu dengan saksama, dan sejak saat itu saya menjadi sering melihat potret Bapak di dinding. Tak jarang saya juga berkaca membayangkan kalau sudah besar nanti, pasti saya akan mirip seperti Bapak, berambut keriting dengan sorot mata yang tajam.
Dan akhirnya saya menyadari Pak Paijan dan orang-orang yang berlalu lalang itu memang bukan bapak saya, karena rambutnya tidak keriting dan sorot matanya tidak setajam matahari yang baru saja bersinar di langit timur.
Saya memang tidak tahu pasti mengapa Bapak pergi meninggalkan rumah saat saya masih di dalam kandungan Ibu. Tetapi, saya dapat merasakan kesedihan menjalar ke dalam hati Bapak dan juga Ibu. Saya membayangkannya, mungkin rasanya seperti rasa rindu saya pada Bapak yang dapat membuat dada menjadi sesak.
Saya memang hanya menemukan Kakek sebagai sosok pria dewasa dalam keluarga saya. Sebenarnya, Kakek adalah sosok penyayang anak-anak. Kakek memang tidak hanya menyenangkan bagi cucu-cucunya sendiri, namun juga menjadi idola bagi anak-anak di kampung halaman saya.
Namanya Kakek Tukimen, hati terasa gembira tiap kali bercengkerama dengannya. Tetapi, salahkah bila saya tetap rindu Bapak? Ya, saya benar-benar ingin bertemu Bapak.