Ketika aku sekarang sering ke Jepang, minimal setiap 3 bulan sekali, untuk menjenguk anakku yang kuliah dan bekerja di sana sejak tahun 2017 lalu, justru keadaanku "hanya" sebagai seseorang yang dalam keterbatasan: duduk di atas kursi roda karena lumpuh separuh tubuh kanan, karena stroke berat. Dan, ternyata justru aku menemukan duniaku di Jepang. Sebuah dunia yang "ramah disabilitas", di mana aku hanya bisa  duduk di kursi roda, melakukan hal-hal yang aku inginkan, dengan nyaman dan aman, diseluruh pelosok kota-kota di Jepang.
Ya, selama aku sudah hampir 10 tahun sejak tahun 2010 terserang stroke berat ini, aku sudah mengunjungi 3 benua dengan puluhan kota-kota besar di benua Eropa, Amerika, dan Asia. Di mana, akhirnya aku bisa keras berbicara bahwa, negeri Jepang lah, yang aku katakan sebuah negeri yang fully ramah disabilitas.
Negara-negara di Eropa dan Amerika, memang cukup ramah bagi kami kaum disabilitas, tetapi karena Eropa konsep bernegaranya adalah "heritage", di mana semua bangunan atau fasilitas-fasilitasnya tidak bisa diubah untuk pemugaran, sehingga untuk fasilitas didabilitas dibangunkan yang tersendiri.
Sehingga, disabilitas pemakai kursi roda, misalnya, sebagian besar tidak bisa masuk ke wisata-wisata kota tua, melainkan kami bisa masuk dari jalan yang lain, padahal kami inginnya bukan kesana.
Bagaimana dengan Amerika?
Ya, Amerika pun ramah disabilitas. Tetapi, karena dataran Amerika sangat luas, sehingga ada beberapa kota dan bagian-bagian kota hanya bisa dengan mobil karena tidak ada angkutan umum.
Sehingga, sebagai disabilitas dengan kursi roda, aku harus mita bantuan untuk pergi ke sana dengan naik mobil pribadi atau taksi.
Jepang?
Jepang adalah sebuah Negara kecil dan padat. Bahkan, warga nya sendiri berdesak-desakan untuk hidup. Dan pemerintah Jepang sangat concern dengan faslitas-fasilitas dalam kepadatannya. Termasuk disabilitas.
Sehingga, justru di Jepang lah aku benar2 nyaman, tanpa bantuab siapapun, kecuali dengan Tuhan .....
Negara-negara Asia yang lain, seperti Singapura, memang ramah disabilitas, tetapi tetap ada beberapa titik di sana yang belum ramah untuk kami.
***
Negara Jepang sendiri, memiliki program jangka panjang baru untuk langkah-langkah pemerintah terkait dengan para penyandang cacat yang dirumuskan berdasarkan Undang-Undang Dasar untuk Orang-Orang Penyandang Cacat yang diberlakukan sejak tahun 1993.
Jepang menciptakan masyarakat di mana kaum disabilitas memiliki hak dan perlakuan yang sama, serta peluang yang sama dan penentuan nasibnya sendiri, untuk berpartisipasi dan berbagi tanggung jawab bangsa.
Filosofi yang melatarbelanginya adalah, masyarakat yang inklusif di mana setiap orang menghormati perbedaan individu yang dimiliki dan saling mendukung.
Langkah mereka adalah, pemerintah Jepang berakar pada hukum dasar penyandang cacat. Tujuannya utuk menyediakan layanan yang memenuhi kebutuhan kaum disabilitas dalam perawatan medis, pensiun, kesejahteraan, pekerjaan, pendidikan dan bidang-bidang yang lain.
Pemerinta Jepang juga berkeinginan untuk menciptakan masyarakat yang bebas hambatan di semua bidang struktur sosial, dan aksesibilitas ke transportasi, bangunan, dan informasi, serta berbagai bidang sosial dengan langkah-langkah yang komprehensif.
Mereka menetapkan "partisipasi penuh kesetaraan" untuk mempertahankan martabat disabilitas. Kaum disabiltas harus dijamin dari diskriminasi berdasarkan "kecacatan" dan hak-hak yang setara dari kaum disabilitas di Jepang.
Yang lebih penting lagi, pemerintah Jepang sungguh berusaha untuk mencegah penyebab disabilitas, karena kaum disabilitas di mana pun cenderung untuk menjadi "miskin", dalam berbagai aspek.
Sebenarnya, bagaimana pandangan masyarakat Jepang tentang kaum disabilitas?
"Terpisah tetapi setara"Â (by Ellen Rubin)
Meskipun siswa disabilitas diberikan pendidikan yang sangat baik di Jepang, banyak yang dididik di sekolah terpisah yang menyediakan layanan untuk memenuhi  kebutuhan siswa dengan berbagai jenis kecacatan.
Tidak ada pertanyaan bahwa siswa ini diajar kurikulum seketat di sekolah lingkungan biasa. Yang hilang adalah interaksi sosial, kesadaran anak-anak non-disabilitas bahwa teman-teman penyandang cacat mereka memiliki banyak hal untuk berkontribusi pada komunitas mereka.Â
Kesan yang bisa didapat dari membaca pernyataan di atas adalah bahwa Jepang memandang kaum disabilitas sebagai orang yang setara, namun entah bagaimana tidak layak atau tidak layak untuk berpartisipasi dengan rekan-rekan yang tidak cacat di masyarakat.
Jepang, serta negara-negara lain di seluruh dunia, terus berjuang dengan persepsi kecacatan non-disabilitas sehubungan dengan setiap aspek masyarakat dan interaksi sosial.
Sampai penerimaan dari pihak orang-orang yang tidak cacat menjadi meluas, Undang-Undang Dasar dan Tindakan Disabilitas akan tetap efektif sebagian.
***
Dari beberapa referensi yang aku baca tentang Jepang dan disabilitas, ternyata aku baru tahu bahwa Jepang pun juga "belum seluruhnya mempunyai kepedulian bagi kaum disabilitas". Sama dengan negara-negara yang lain.
Pasti ada pro dan kontra, tetapi selama mereka tetap hormat dan berusaha untuk menerima kaum disabilitas, untukku sendiri, biarkan saja. Toh, kebutuhanku dipenuhi dalam rangka fasilitas-fasilitas disabilitas, bukan hanya sekadarnya saja, tetapi justru negeri Jepang sangat detail untuk memenuhi kebutuhanku sebagai bagian dari kaum disabilitas dunia.Â
Dan, pada kenyataannya, sebagai bagian dari kaum disabilitas dunia, aku sangat merasakan betapa luar biasanya Jepang, untuk memenuhi berbagai macam cara kenyamanan dalam melewati hidupku selama di Jepang.
Aku adalah "saksi hidup", betapa warga lokal Jepang di desa-desa atau kota-kota kecil yang aku datangi, tetap ramah dan siap membantu ketika aku butuh bantuan.
Apapun kenyataannya, intinya hanya satu:
Semakin kesini Jepang dan negara-negara dunia saat ini, termasuk Indonesia, akan terus berjuang untuk mensejahterakan warga negaranya, siapapun itu termasuk kaum disabilitas tanpa diskriminasi, untuk mempunyai hak dan kewajiban yang sama sebagai warga Negara. Dan aku beruntung, hidup di abad ini, dalam suasana yang sangat nyaman, walau masing-masing dari mereka sedang bergulat dengan "mulai mau peduli".