Tidak ada pertanyaan bahwa siswa ini diajar kurikulum seketat di sekolah lingkungan biasa. Yang hilang adalah interaksi sosial, kesadaran anak-anak non-disabilitas bahwa teman-teman penyandang cacat mereka memiliki banyak hal untuk berkontribusi pada komunitas mereka.Â
Kesan yang bisa didapat dari membaca pernyataan di atas adalah bahwa Jepang memandang kaum disabilitas sebagai orang yang setara, namun entah bagaimana tidak layak atau tidak layak untuk berpartisipasi dengan rekan-rekan yang tidak cacat di masyarakat.
Jepang, serta negara-negara lain di seluruh dunia, terus berjuang dengan persepsi kecacatan non-disabilitas sehubungan dengan setiap aspek masyarakat dan interaksi sosial.
Sampai penerimaan dari pihak orang-orang yang tidak cacat menjadi meluas, Undang-Undang Dasar dan Tindakan Disabilitas akan tetap efektif sebagian.
***
Dari beberapa referensi yang aku baca tentang Jepang dan disabilitas, ternyata aku baru tahu bahwa Jepang pun juga "belum seluruhnya mempunyai kepedulian bagi kaum disabilitas". Sama dengan negara-negara yang lain.
Pasti ada pro dan kontra, tetapi selama mereka tetap hormat dan berusaha untuk menerima kaum disabilitas, untukku sendiri, biarkan saja. Toh, kebutuhanku dipenuhi dalam rangka fasilitas-fasilitas disabilitas, bukan hanya sekadarnya saja, tetapi justru negeri Jepang sangat detail untuk memenuhi kebutuhanku sebagai bagian dari kaum disabilitas dunia.Â
Dan, pada kenyataannya, sebagai bagian dari kaum disabilitas dunia, aku sangat merasakan betapa luar biasanya Jepang, untuk memenuhi berbagai macam cara kenyamanan dalam melewati hidupku selama di Jepang.
Aku adalah "saksi hidup", betapa warga lokal Jepang di desa-desa atau kota-kota kecil yang aku datangi, tetap ramah dan siap membantu ketika aku butuh bantuan.