Mohon tunggu...
Christanto Nugroho Sir
Christanto Nugroho Sir Mohon Tunggu... -

praktisi HR, gitaris, lari, baca buku\r\n\r\nfollow: @chris_bassist

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tumpukan Ijazah

16 September 2013   09:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:50 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Masih jelas dalam ingatan saya saat duduk di bangku kelas 1 SD tahun 1991. Menghafal kapan Kapten Pattimura lahir, saat ulangan ditulis kembali di kertas ulangan. Menghafal 26 provinsi se-Indonesia, ditulis kembali ke kertas ulangan. 1 SMP menghafal pelajaran biologi – teori Darwin lalu ditulis kembali ke kertas ulangan. Di kuliah semester 4, menghafal mata kuliah manajemen dari Peter Druker ditulis kembali saat UAS.

Apa ini? Potret momen-momen saat dulu saya sekolah di Jakarta.  Ada yang salah?  Saya menduga. Belum jelas benar, masih berkabut. Tapi rasanya ada.

Kegusaran ini muncul ketika saya membaca artikel Prof. Rhenald Kasali – Guru Besar FE UI berjudul: Keluar Dari “Kecakapan Ujian”, ada kutipan “Di atas kertas pada saat ujian mereka benar-benar cerdas, hafalannya bagus, analisisnya ok, tetapi mengapa untuk hal sederhana saja tak mampu mengaplikasikan pengetahuannya?”– ini komentar Prof. Rhenald Kasali kepada mahasiswa S1 yang sedang diajarnya -

Pada dasarnya ilmu pengetahuan bertujuan membantu manusia menyelesaikan masalah, membantu manusia menemukan kehidupan yang  lebih baik. Bagaimana caranya? Ilmu pengetahuan biasanya diujii, dipraktekan dan dikonfrontir dengan masalah-masalah kehidupan nyata. Teori dan rumus rumit dipindahkan keluar “melompat” darikertaskedunia nyata. Contoh Google, rumus/resep searching engine-nya pasti ada dan rumit, tapi kalo kita buka google.com, gampang banget nyari apa aja, bisa bantu kita buat PR, belanja gadget sampai deadline kerjaan kantor karena kecerdasannya.

Temuan bohlam lampu oleh Thomas Edison, Apple - Steve Jobs, Youtube - Chad Hurley dkk, Google - Larry Page, adalah sebagian contoh bagaimana ilmu pengetahuan, temuan teori/rumus berhasil “melompat” dari kertas berubah menjadi solusi-solusi kehidupan. Teori/rumus berani “diangkat” keluar kertas, dipraktekan di kehidupan nyata. Kontras benar dengan cara belajar di sekolah pada umumnya, teori/rumus “tidak bergerak” dari kertas, menunggu dihafal pembacanya, lalu ditulis "dimasukan"  kembali ke kertas ulangan/ujian. Aneh. Bagaimana kita tahu teori/rumus itu bermanfaat untuk orang lain kalo aliran ilmu pengetahuan cuma sebatas dari kertas ke kertas, dari buku pelajaran ke tumpukan kertas ujian –  lecek dan dibuang. Tanda tanya besar.

Kembali saya ambil tumpukan potret-potret pendidikan saya dulu, 1991-2010, dari SD hingga kuliah. Proses dominannya adalah: menghafal - tulis lagi dikertas – lulus, menghafal – tulis lagi dikertas – lulus. That’s it!Minimkesempatan ilmu pengetahuan itu diuji dulu, dipraktekan dan dikonfrontir dengan problem kehidupan - sebelum jadi solusi kehidupan. NO WAY! YOU JUST SHUT UP! Kita (saya setidaknya) seperti kumpulan sapi dengan posisi kepala menunduk tertahan rotan, dipaksa (menghafal) / makan macam-macam rerumputan (kurikulum - pelajaran) sampai kenyang. Mungkin hari itu kenyang, tidak tahu “kekejaman” ini akan mendatangkan bencana kelaparan suatu saat. Ketika pasokan rumput berhenti, ketika guru tidak lagi mengajar kita!

Saya khawatir mode belajar pasif menimbulkan ketergantungan di kemudian hari. Artinya, belajar harus ada guru baru bisa belajar. Kalo tidak ada? Ya sudah. Menghafal adalah salah satu “cabang” dari belajar pasif. Menghafal tidak sama dengan berpikir. Berpikir adalah mode aktif, aktif adalah loncat keluar pintu,go outside, menerobos kabut, menerobos ketidakpastian, mencari mencoba alternatif-alternatif.

Saya membayangkan, belajar IPA mungkin menyentuh/memetik daun sendiri, mengamati, terus dipikirkan bisa dibuat apa. Atau menulis rumus hukum gravitasi fisika, dipikirkan bisa dibuat apa. Belajar PPKN mungkin mengambil salah satu pasal UUD, lalu “ditimbang sendiri” apakah sudah cukup adil buat rakyatnya. Berani mencoba. Kegagalan dari percobaan-percobaan ini harus didukung. Kegagalan harus diapresiasi, tidak di-judge “wah kamu itu…..”. Kegagalan menjadi petunjuk berharga bagi kita untuk tetap berani menerobos lorong-lorong gelap, lagian untuk apa kita menerobos jalan yang sudah terang?? Justru ilmu pengetahuan yangfreshterletak di lorong-lorong gelap tadi, yang belum ada pemiliknya, di balik kabut, di balik ketidakpastian; menunggusi penjelajah pemberanimenemukannya.

Saya membayangkan kita belajar di kelas, di luar kelas, di manapun. Dengan suasana belajar hidup, interaksi guru murid 2 arah – 360 derajat,seru menghadapi risiko-risiko,funketika menemukan sesuatu. Bukan suasana belajarlecture only, 1 arah, kaku, nurut buku, murid seakan “tanpa perlawanan” – jika melawan jangan-jangan “digebuk”, kreativitasdiminimalkan– kertas ulangandimaksimalkan. Hmm..sebaiknya tidak mengejar nilai ijazah y, tapi kejar kemandirian berpikir.

Ada pepatah, “jika ingin menolong orang jangan beri ikan, beri kail pancingnya”. Berarti ketika kail ada di tangan seseorang maka dia bisa mencari ikannya sendiri, kita tidak perlununggoni, tidak perlu khawatir besok ia makan apa, tidak perlu khawatir akan masa depannya!

Bapak ibu guru (jika anda baik hati), berikan kail pemancingnya di tangan kami, kami akan memancing sendiri. Jangan beri kami kertas ulangan karenahanya mengulang-ulang yang sudah ada!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun