Mohon tunggu...
Benediktus ChristSetyawan
Benediktus ChristSetyawan Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Seminaris

Hobi jalan-jalan.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Industri (Tanpa) Kreatif

26 Agustus 2022   10:25 Diperbarui: 26 Agustus 2022   10:28 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Selama beberapa tahun terakhir pemerintah menggaung-gaungkan perkembangan industri kreatif di Indonesia. Hal ini ternyata mendapat respon positif dari masyarakat mengingat jumlah pekerja industri kreatif yang meningkat pesat dari 5,6 juta orang pada 2011 hingga 7 juta orang pada tahun 2017. Melihat perkembangan tersebut, sebagian besar orang akan mengatakan bahwa industri kreatif berhasil menjadi salah satu alternatif penyokong perekonomian Indonesia baik untuk saat ini maupun waktu yang akan datang.

Namun, selama ini perkembangan itu disajikan dalam bentuk data kuantitatif yang hanya menggambarkan pertumbuhan ekonomi ekspor-impor produk kreatif dan pertumbuhan jumlah tenaga kerjanya. Tidak ada informasi yang jelas mengenai iklim industri kreatif di Indonesia atau sejauh mana kreativitas itu sendiri dipahami masyarakat. Mengingat kekurangan data ini, keliru jika keberhasilan industri kreatif hanya diukur dari segi kuantitas dan melupakan kualitas yang sejatinya menentukan pertumbuhan kuantitas kedepannya.

Esensi Kreativitas

Perlu dipahami bahwa industri kreatif tidak hanya urusan soal bisnis yang memperjual-belikan produk-produk kreatif. Pertama-tama, industri kreatif berdasar pada mental atau sikap kreatif yang kemudian diwujudkan ke dalam suatu produk dan memiliki nilai ekonomis tertentu. Mentalitas kreatif berarti kemampuan atau semangat seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata yang relatif berbeda dengan apa yang telah ada sebelumnya. Dalam hal ini, kreativitas tidak selalu berupa suatu hal yang baru yang belum pernah ada sebelumnya (ex nihilo), tetapi selalu melibatkan perjumpaan yang intens dan penuh kesadaran antara pencipta (creator) dengan elemen-elemen yang telah ada.

Perjumpaan inilah yang memungkinkan terjadinya proses asosiasi dan kombinasi sehingga melahirkan sesuatu yang baru.

Industri (Tanpa) Kreatif

Realita yang terjadi saat ini adalah industri kreatif belum menjunjung mentalitasnya baik sebagai institusi (perusahaan dan pemerintah) maupun individu kreatif. Institusi seharusnya memegang peran yang sangat penting dalam keberlangsungan kreativitas dimana institusi menjadi penentu sejauh mana suatu karya dinilai kreatif. Sayangnya institusi tersebut belum mampu menciptakan iklim yang mampu mendukung keberlangsungan kreativitas. Hal ini ditunjukkan dalam permasalahan upah yang rendah dan tidak menentu. Menurut data dari BPS selama periode 2015-2016, terdapat 7 subsektor dari 14 subsektor industri kreatif yang masih memiliki upah dibawah upah seluruh sektor. Tiga diantaranya bahkan masih berada di bawah rata-rata UMP Indonesia. Hal ini sangat disayangkan sekali, mengingat 7 subsektor itu memiliki jumlah peminat yang sangat banyak.

Selain itu banyak pelaku ekonomi kreatif yang mengeluhkan masalah pelanggaran hak cipta. Jejak yang paling jelas dari masalah ini adalah industri musik yang sampai saat ini terus mengalami kerugian sebesar Rp 8,4 miliar/tahun akibat pembajakan dan pembatasan. Perlombaan seni yang diadakan perusahaan-perusahaan tertentu juga seringkali mencabut hak cipta suatu karya menjadi milik perusahaan tanpa budget yang menjanjikan. Pada akhirnya industri kreatif tidak meletakkan bobot pada aset kreatif, melainkan sebatas kepentingan promosi yang bersifat eksploitatif.

Permasalahan bertambah semakin parah ketika arus perkembangan zaman bertemu dengan mentalitas reaktif masyarakat Indonesia ketika menanggapi perubahan. Sampai saat ini masyarakat Indonesia masih menderita kemiskinan mental akibat kemiskinan struktural dan kultural. Salah satu kecenderungan sikap dari bentuk kemiskinan ini adalah hasrat terhadap uang atau kekayaan. Bukan hanya pemerintah yang memfokuskan pembangunan pada bidang

ekonomi, tetapi masyarakat Indonesia juga memiliki urgensi dan hasrat yang sama tingginya untuk dapat segera berpenghasilan. Hal inilah yang kemudian menimbulkan sikap materialistis, kurang percaya diri, lemah mentalitas, dan semakin mendangkal nilai etis dan spiritualnya. Banyak orang merasa puas dengan formalisme, legalisme, dan cenderung mengambil jalan pintas. Tak heran jika banyak produk kreatif lokal yang hanya menyalin produk kreatif luar negeri dan jarang menunjukan identitas atau keunikannya.

Membangun Skill dari "Nol"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun