Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menyajikan Sejarah Dengan Kelezatan Fiksi

11 November 2011   02:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:49 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

MENYAJIKAN SEJARAH DENGAN KELEZATAN FIKSI

C.S.

.

[caption id="attachment_141557" align="aligncenter" width="325" caption="from google"][/caption]

Jika anda masih ingat, apa yang disodorkan guru-guru sejarah kita di masa sekolah? Baik itu saat kita duduk di sekolah dasar, menengah, ataupun atas. Entah, untuk rekan-rekan yang sempat mengenyam fakultas sejarah di perguruan tinggi. Tapi yang jelas saya alami dan saya ingat, guru-guru sejarah saat itu selalu hanya menyodorkan buku-buku resmi/paket yang isinya jelas sebuah textbook, yaitu buku pelajaran sejarah. Belum lagi jika metode pengajarannya membosankan dan kurang menarik. Hanya "membaca ulang" ataupun mencatat. Sangat wajar jika saat itu, kita sebagai siswa , banyak yang selalu terkantuk-kantuk di kelas. Sebagai intermeso, waktu SMA saya sedikit "beruntung" karena memiliki guru sejarah yang bisa membuat mata selalu terbuka. Guru sejarah saya lumayan cantik. Wajah ayu, kulit putih, dan body oke. Cara mengajarnya pun tidak membosankan. Dia rajin memvariasikan penyampaian bahan ajar, dan saat ber"orasi" selalu rajin bergerak mengitari kelas. Berjalan pelan sambil menyampaikan materi, berkeliling, ke belakang dan ke depan kelas lagi. Saat dia kembali ke muka kelas inilah, saat yang saya tunggu. Karena dengan gerak otomatis, saya yang duduk di bangku belakang, diberi kesempatan untuk memiringkan sedikit badan. Mata-mata lelaki remaja saya, sangat menikmati siluet langkah bak peragawatinya. Indah, apalagi..betisnya...ah...sudah..ah.., malu.

Kembali ke materi sejarah. Saya tidak bisa memastikan, apakah metode mengajar guru-guru sejarah banyak yang cenderung membuat mengantuk atau banyak siswa yang memang tidak menyukai pelajaran sejarah. Yang jelas, perlu diimprovisasi metode-metode yang kiranya mampu membuat siswa tertarik dengan sejarah, menyukai, bahkan selalu mengingat pesan sejarah ataupun tokoh-tokohnya.

Belajar, mengetahui, atau mengenal sejarah tidak melulu harus didapatkan dalam sebuah pembelajaran di kelas. Materi-materi sejarah yang tersampaikan secara formal, sangat perlu didukung oleh media lain yang mampu menguatkannya. Pengetahuan sejarah, cukup diakui sebagai sebuah ilmu, yang berarti ilmiah atau nyata. Meskipun sebagian besar berupa cerita, namun kisahnya diyakini adalah nyata. Namun saat dikemas dalam sebuah buku pembelajaran, dapat dimaklumi jika akhirnya membosankan. Karena memang buku-buku pembelajaran diplot untuk sifatnya detail, kaku dan formal.

Entah sudah ada para guru sejarah formal yang mengadopsinya atau belum. Sebuah pendekatan pengajaran sejarah yang saya rasa akan lebih membekas bagi para siswa. Salah satunya adalah dengan menyodorkan sebuah referensi yang bersifat karya "fiksi", ada juga yang menyebutnya fiksi sejarah. Meski kadang penciptanya tak pernah menyatakan itu. Penciptanya hanya menulis dan berkarya sesuai apa yang ada di imajinasinya saja. Metode ini ini layak dipertimbangkan. Karena saya yakin akan membuat siswa yang sebenarnya tidak menyukai sejarah, namun karena menyukai karya fiksi yang bersifat menghibur, sengaja atau tidak sengaja ia akan merekam sejarah itu dari karya fiksi yang dibaca ataupun dilihatnya. Efektif, apalagi untuk siswa yang pada dasarnya menyukai dan tertarik akan sejarah, karya fiksi akan lebih mematangkannya.

Saya sendiri mengalaminya. Saya lebih merekam alur ataupun tokoh-tokoh yang ada dalam sejarah masa lalu nusantara ini, karena menyukai karya-karya fiksi yang dilatarbelakangi sebuah sejarah. Sengaja ataupun tidak, para pencipta karya tersebut telah menyajikan sebuah sejarah dengan dibumbui lezatnya kisah fiksi. Boleh saya contohkan. Saya lebih merekam dan mengingat sejarah kerajaan-kerajaan besar di masa lalu, seperti Singasari, Majapahit, Mataram (Hindu/Islam), juga kerajaan-kerajaan lainnya (yang sempat saya baca tentunya) justru dari hasil membaca, mendengar dan melihat sebuah karya fiksi.

Mungkin banyak di antara anda yang telah mengetahuinya. Banyak penulis/pencipta karya yang sering menjadi pendorong penikmat fiksi menjadi lebih mengenal sejarah. Misalkan saja seorang Sigit Hadi (SH) Mintardja dengan seri "PELANGI DI LANGIT SINGASARI" atau "SEPASANG ULAR NAGA DI SATU SARANG". Silahkan di tengok juga Sdr. Langit Kresna Haryadi dengan Trilogi "GAJAH MADA" NYA. Atau yang lebih "bersifat muda" sedikit, kita sepertinya lebih banyak mengenal Bung Arswendo Atmowiloto dengan kisah "SENOPATI PAMUNGKAS"-nya. Mereka menyajikan karya fiksi yang nikmat dibaca tanpa bosan dan lebih melarutkan kita pada kisah sejarah yang telah diramu lezatnya bumbu kisah laga,keindahan, kepahlawanan, semangat, bahkan romantisme percintaan.Dari karya mereka lah saya lebih mengingat Ken Arok, Ken Dedes, Kertanegara, Raden Wijaya, Gajah Mada, Tribuaneswari, Dyah Wiyat Rajadewi bahkan liciknya Sang Ramapati.

[caption id="attachment_141558" align="aligncenter" width="246" caption="from google"][/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun