Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Main “Polisi-polisian”

19 Juli 2013   11:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:20 769
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di waktu ku masih kecil, gembira dan senang. Tiada duka mendera,tak kunjung mengerang.Di sore hari nan sepi, ibuku bertelud. Sujud berdoa kudengar, namaku disebut. Lhooo,.. kok saya malah nyanyi lagunya Nikita. Hehehe..., habis suka banget, sih. Lalu, memangnya ada hubungan dengan coretan tak jelas yang ingin saya tulis kali ini? Anggap saja ada, apalagi kalau berniat menghubung-hubungkan.

Ada hubungan yang hendak saya paksakan, di antaranya mengenang masa kecil saya yang banyak nuansa riang. Waktu itu, salah satu permainan yang sering dilakukan bersama teman-teman adalah “polisi-polisian”. Banyak terinspirasi oleh serial-serial televisi yang saat itu masih didominasi layar hitam putih. Cerita-cerita heroik para polisi dalam menumpas kejahatan. Seperti Erick Estrada dan John Baker dalam serial CHIPs, Sersan Rick Hunter, Sersan Sledge Hammer, Komisaris O’hara dan lain-lainnya. Kebetulan “jagoan import” semua. Mungkin karena film-film lokal saat itu sulit menemukan tema “menarik” dari kisah polisi-polisi dalam negeri. Tentang ini, yang saya ingat justru film komedi Dono, Kasino, Indro (DKI/Warkop) dalam “plesetan” serial CHIPs, menjadi sosok polisi yang “sial melulu”. “Polisi-polisian”, bukan “hakim-hakiman”, sebab untuk yang kedua ini tak populer di mata anak-anak kala itu. Anak-anak tak tahu persis hakim itu apa, meskipun lagu dangdut “Pak Hakim dan Pak Jaksa,...kapan saya mau disidang” begitu fasih dinyanyikan.

Walaupun menjadi permainan favorit, “polisi-polisian” ini lebih sering tak selesai kami mainkan. Bubar di tengah jalan. Mengapa demikian? Karena selalu saja yang terjadi adalah keributan dan kegaduhan. Berantem beneran sehingga berujung tangisan. Penyebabnya terulang, tak ada yang rela untuk memainkan peran menjadi “penjahat”nya. Semua inginnya menjadi “polisi” saja. Akhirnya, yang terpaksa menjadi penjahat pun melakukan perlawanan, sebab polisinya maunya menang sendiri. Tak mau kalah dan berganti giliran.

“ Hoi! Kalian kan penjahat, harusnya kalah dong sama kita!”

“ Masa’ kalah terusss?!”

“ Door! Kutembak dengan pistol! Kena!..., Mati dooonggg!”

“ Nggak kenaa!! Penjahatnya kan hebat, berantem dulu dong..!”

Bak! Buk! Bak! Buk!

Huaaaaaaa!!!!!....Huuuuu!!!, Thole nakal! Mukul beneraaann!!!..(mewek tenanan..).

Kurang lebih seperti itu “ricuh”nya. Dan ternyata, di masa sekarang, sering terlihat pula orang-orang yang katanya dan seharusnya dewasa, bukan anak-anak lagi, sadar atau tidak sangat suka bermain “polisi-polisian” ini di dunia nyata bermasyarakat. Mereka-mereka yang entah kepentingannya apa, merasa paling benar dan berhak menyatakan pihak lain sebagai “penjahat”. Seenak udelnya melantik diri lalu berperilaku seolah polisi, dengan memaksakan aturan-aturan versinya sendiri. Dan yang sangat disayangkan, semenjak reformasi negeri ini bergulir, hampir setiap Bulan Ramadhan ternodai dengan polah pihak yang “bermain polisi-polisian” itu. Dalih-dalih tentang ajaran agama, dijadikan “kambing hitam” pemaksaan aturan dengan kesan pembenaran mereka sebagai “polisi agama”. Membingkai kekerasan demi kekerasan berseling serak teriakan menyebut kebesaran nama Tuhan.

Lalu siapa dan akan sampai kapan pihak lain yang selalu dipaksa berperan menjadi “penjahat”nya menahan diri? Bahkan adanya aturan tertulis tentang salah dan benar atau boleh dan tidak boleh sepanjang menyangkut subyektifitas penghargaan perilaku beragama, yang banyak dinilai bernuansa pemaksaan pun, tentu yang diharap menegakkan adalah aparat sesungguhnya. Polisi yang sebenarnya.

Sayangnya yang seharusnya mengambil peran demi ketenteraman itu terkesan lebih banyak mendiamkan. Dan bisa diduga mereka yang di”penjahat”kan akhirnya tak akan mampu menahan diri lagi. Melawan pihak yang terus ingin menjadi “polisi”nya. Bak! Buk! Bak! Bukh! Bentrok beneran! Jatuh korban! Polisi betulannya baru datang setelah tangisan. Demi apa ini semua? Naif jika ini dikatakan demi agama apalagi kesucian Ramadhan! Entah, yang pasti demi kepentingan. Ketika anak menangis, ibu menangis dan banyak yang menangis, apalagi saat ada ibu dan anak jadi korban, masih jugakah kesadaran nurani utuh untuk meluruskan segala kekeliruan berujung kekerasan itu tak tumbuh? Rasanya, tak mungkin kekerasan itu menjadi bagian dari doa masing-masing ibu untuk anaknya.

Salam damai.

.

.

C.S.

kasih permen...?

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun