Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Drama

Kisah Mark dan Boy

26 Januari 2012   11:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:26 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam temaram senja, pada sebuah sudut belantara kota, dua orang lelaki berbeda generasi, tengah duduk berdua melepas lelah dan penat. Seharian ini mereka giat berkarya mengelola bisnis mereka. Dari obrolan yang mereka lakukan, nyatalah jika mereka adalah berhubungan darah. Seorang ayah dan anak tersayangnya yang selama ini membantunya dalam berbisnis. Rekanan-rekanan bisnis sering memanggil mereka Pak  Mark untuk si ayah dan Boy untuk si anak.

Tampak si Boy serius membaca koran di tangannya, sedangkan Pak Mark asyik dengan hisapan cerutu mahalnya sambil mendengar dan sesekali menanggapi antusias celotehan putra terkasihnya. Suara gesekan kertas koran menghiasi sepinya senja saat Boy membuka halaman demi halamannya. Asap cerutu mengepul padat dan meliuk tertiup sepoi hembusan angin sore. Sekejap berkumpul, melingkar-lingkar, lalu lenyap tak berbekas. Menjadi jatah daun-daun pohon yang bekerja mengurainya kembali menjadi udara yang layak dihirup manusia.

“ Wah, Pa! Berita bagus nih! Ada kemajuan?”

“ Berita apa sih, Boy?”

“ Ini, lho! Miranda akhirnya dijadikan tersangka”.

“ Masalah suap itu ya?”

Pak Mark tetap menanggapi meski gerak wajahnya lebih nyata menikmati cerutu yang dia hisap.

“ Iya, Pa. Wah, lumayan berani juga Pak Samad ini. Mudah-mudahan dia menepati janji”.

“ Janji yang bilang setahun kasus korupsi beres itu?”

“ Iya, Pa. Boleh juga nih, orang”.

“ He’eh. Kita lihat saja nanti, lah”.

Sejenak hening kembali. Boy kembali membuka lembar demi lembar koran yang dibacanya. Pak Mark merem-melek meresapi nikmatnya cerutu berkelas yang dihisapnya.

“ Wah, Pa! Ada yang seru lagi nih!”

“ Apa itu, Boy? Ayu Ting Ting kawin?”

“ Bukan, Anas dan Demokrat kebakaran jenggot!”

“ Heh? Emang dia punya jenggot?”

“ Bukan! Maksudku, Yulianis dan Nazarudin kesaksiannya jelas mengarah padanya”.

“ Kan udah dari dulu?”

“ Yang ini makin memojokkan Anas Pa. Petinggi demokrat juga mulai resah. Pak SBY juga. Malah ada wacana agar Anas di non aktifkan”.

Sepi kembali. Boy asyik kembali dengan bacaannya, beberapa lembar masih tentang kejadian Afriani, Si mabuk narkoba yang menewaskan banyak orang ketika Xenia-nya melaju kencang, di tugu tani. Tapi tentang ini hanya celoteh-celoteh pendapat tokoh-tokoh yang beropini. Tak ada yang baru, papanya sudah tahu.

Ia hanya ingin sampaikan kepada papa tercintanya berita-berita aktual yang dia baca. Memang selama ini Pak Mark malas membaca koran, dia mengandalkan Boy untuk memberinya berita-berita menarik dan aktual. Meski hampir semuanya tak menarik hatinya, ia tetap mendengar dan menanggapi, tak ingin anaknya yang tengah bersemangat menjadi kecewa.

“ Nah! Ini ada hasil survey popularitas parpol Pa! Untuk pemilu nanti”.

“ Kan masih dua tahun lagi Boy?”

“ Iya, sih. Tapi ini sudah mulai gencar wacananya. Demokrat menurun”.

“ Wajarlah. Banyak kasus”.

“ PDI dan Golkar yang menanjak, nih”.

“Wajarlah, ini kan perang mereka. Siapa pintar dia dapat”.

“ Ahh, papa sok tahu”.

“ Hehehe...”.

Hari mulai temaram, sang surya mulai menepi ke cakrawala, menyisakan cahaya keemasan yang redup di ujung barat kota. Si Boy melipat kembali koran yang usai dia baca, dan keduanya mulai beranjak.

“ Kenapa masih kau pegang saja koran itu Boy? Satukan dong, sama tumpukan lainnya!”

“ Ini masih baru, Pa”.

“ Halagh! Sudah basi! Satukan dengan yang lain. Lumayan, buat nambah kiloannya nanti”.

Boy tidak membantah. Apa yang dikatakan ayahnya benar, koran itu sudah basi baik wujud maupun isinya. Lebih baik dia satukan dengan koran-koran bekas dan tumpukan kardus yang lain, lumayan juga hasil kerja mereka hari ini.

“ Wah, hasil kita hari ini lumayan, Boy”.

“ Iya, Pa. Tuh, yang botol plastik dan bekas minuman gelas juga banyak,..he..he”.

“ Yuk, kita bereskan segera. Pak Madi kurang suka kalo kita datang ke lapaknya malam-malam”.

“ Iya, Pa”.

Lalu mereka bergegas merapikan barang-barang bekas yang seharian mereka kumpulkan hari ini. Barang-barang yang mereka dapat dari menyusuri jalanan, juga dari tempat sampah yang satu menuju tempat sampah yang lain.

Setelah beres, dengan perkasa mereka memanggul perolehan mereka yang telah dimasukkan ke dalam karung-karung besar. Pak Mark, menghisap untuk terakhir kali cerutu nikmat yang sudah mencapai ujungnya, rejekinya bagus hari ini, tak sengaja dia menemukan cerutu mahal yang dibuang pemiliknya meski belum usai hisapannya.

Tandas, tak ada yang bisa dihisap lagi, lalu dijentikannya puntung itu dan mendarat rapi di selokan. Cess!!, suara bara yang padam terdengar nyata saat puntung itu menyentuh permukaan air yang hitam.

Ayah dan anak itu berjalan beriring dengan pundak penuh beban. Mereka yang selama ini sedikit terhibur diri dengan panggilan Papa dan Boy, layaknya panggilan orang-orang gedongan itu melangkah pasti menyusuri temaramnya senja, ditengah hiruk pikuknya kota yang riuh dengan pergulatannya.

Itulah mereka, Markidi dan Boiman, yang mengisi lubang-lubang kehidupan kota, mewarnai dinamikanya. Meski seringkali tenggelam dalam persaingan kejam kehidupan, juga kekuatan-kekuatan saling berebut mulia.

Dan mentari betul-betul tenggelam, ketika mereka menempuh separuh perjalanan.

.

.

C.S.

Jan/20112

Mohon tunggu...

Lihat Drama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun