Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Money

Ketika Desa Bukan Tempat Favorit Mencari Makan

28 Juli 2012   06:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:31 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Sebentar lagi akan tiba libur Lebaran. Pemandangan serta peristiwa yang mungkin kita rindu atau menjadi bagian didalamnya setiap tahun selalu terjadi, yaitu padatnya arus mudik dan juga arus balik. Kenapa ini yang terjadi? Mengapa kampung halaman hanya terkesan “hidup” saat liburan tiba? Sebagian besar dari kita akan mengangguk dan mungkin sambil mengangkat bahu seraya mengatakan “, Habis mau gimana lagi, mata pencaharian kita ada di kota..”

Kota adalah tempat yang selama ini diakui atau tidak lebih menjanjikan untuk “mencari makan”, sedangkan desa adalah tempat yang indah untuk “dikenang” dan menjadi tempat “pulang”. Hmm,..iya ini faktanya. Pesona kota dengan binar serta kerlipnya banyak menggoda kita untuk ke sana, mengadu nasib agar materi lebih banyak didapat. Sedangkan desa seringkali hanya merana, ditinggalkan para pemudanya. Yang masih tekun bergelut tanah tegalan dan lumpur sawah adalah orang yang sudah menua, meskipun ada juga sedikit sosok pemuda yang terbangkit jiwa bertaninya, ataupun yang sudah putus asa karena tak mampu lagi bersaing di kota.

Penduduk desa memang tidak semuanya petani, jika petanipun tidak semua merupakan pemilik lahan yang luasnya dianggap cukup layak untuk hidup. Maka dimaklumi ketika anak seorang petani gurem ingin merubah nasib dengan pergi ke kota. Biarlah merantau jauh dari orang tua, kumpul ora kumpul sing penting mangan. Yang anak petani kaya (berlahan luas) pun belum tentu ingin menjadi petani, lebih memilih tinggal di kota atau luar negeri. Demikian juga belum sinkronnya mereka yang mampu mengakses pendidikan tinggi pada fakultas pertanian, sangat jarang bisa konsisten untuk terjun total memajukan dunia pertanian, banyak yang lebih memilih bekerja di kantoran, bahkan menyeberang dari ilmu formal yang ia dapatkan.

Lambat ataupun cepat masalah ketersediaan pangan ini akan datang. Bukan hanya di negeri kita namun juga seluruh dunia. Pertumbuhan penduduk yang cenderung lebih tinggi dari pertumbuhan pangan sulit terhindarkan. Keberhasilan masing-masing negara mengamankannya bergantung sinergi antara pengambil kebijakan, para petaninya dan juga pihak-pihak yang terkait dengan proses dari menanam hingga sampai di meja hidangan.

Banyak faktor yang saling bersinggungan terkait dengan kondisi ketersediaan pangan di Indonesia yang diakui cukup mengkuatirkan. Saat produksi dalam negeri tak mencukupi, barang impor merajai, hingga harga membubung tinggi saat akses kepada komoditi semakin terbatas. Langka dan tingginya harga kedelai hingga heboh menghilangnya tempe baru-baru ini hanyalah salah satu indikasi, yang mengisyaratkan adanya “WARNING” level tinggi untuk pangan negeri ini.

Pekerjaan rumah pelik yang harus disikapi serius adalah perluasan lahan, intensifikasi, kebijakan subsidi pada bidang pertanian hingga tak jeri bersaing dengan produk impor, perlindungan stok/harga dengan mengembalikan fungsi BULOG kembali seperti kekuatan sebelum di”blejeti” IMF pada era krisis 1997/1998, sinergi antara institusi akademis dengan praktisi/petani, demikian juga keseimbangan agenda industrialisasi yang tidak memakan sektor pertanian, dan pasti masih banyak lagi.

Ketika pekerjaan rumah itu bisa terselesaikan, bukan hal mustahil nantinya desa bukanlah lagi tempat yang termajinalkan, namun pesonanya setara dengan perkotaan, karena profesi petani sudah seharusnya menjadi idaman pemuda, bukan hanya sebagai pengisi masa pensiun saja.

Tentu untuk mewujudkan itu pihak pemerintah menjadi sentral penggerak dengan dukungan kesadaran seluruh rakyat. Benar ketika ada prinsip yang mengatakan pada masa lalu sebuah negara boleh saja gagal dalam mengelola perekonomian/pangan, namun sangat disayangkan jika kembali gagal karena sebelumnya telah memiliki modal pokok yaitu ilmu pengetahuan dan sejarah/pengalaman. Ada lagi yang sangat-sangat disayangkan, yaitu ketika sebuah negara pernah berhasil dalam mengelola perekonomian/pangan tapi sekarang mengalami kegagalan.

Semoga pangan Indonesia bisa mandiri dan terkenyangkan oleh pedesaan.

.

.

C.S.

Ndeso..

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun