Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jasad Terakhir

9 Januari 2012   10:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:08 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13261023661870251289

[caption id="attachment_154413" align="aligncenter" width="300" caption="from google"][/caption]

Badai dan hujan terus menghiasi malam. Gelombang laut meliuk, laksana gunung raksasa, yang siap menelan apa saja. Kapal, batu, apalagi manusia, seperti titik kecil tak berdaya, ketika diombang-ambingkannya.

Sudah berhari-hari cuaca tak bersahabat, membuatku begitu kecil dan tak berarti di pulau terpencil ini. Sudah dua hari  pula aku sulit tertidur lelap. Asmawi, semakin pucat dan dingin, bahkan sore tadi nafasnya sudah berhenti. Asmawi sudah mati. Ini kenyataan,...Asmawi sudah mati. Sekarang aku hanya sendiri, menjaga nyala mercusuar di pulau sepi.

Asmawi, maafkan aku. Aku sudah berusaha setengah mati mengobatimu. Tapi di pulau ini hanya ada daun pepaya, yang biasanya bisa menahan tubuh kita, dari serangan malaria. Mungkin memang yang kau derita, malaria yang sedemikian hebat adanya. Hingga engkau pun akhirnya meregang nyawa. Seperti tiga teman kita yang lainnya.

Ah. Harus dengan siapa aku bicara? Badai laknat menyumbat sinyal keluhku, pada orang-orang daratan. Lalu apakah harus di pulau ini juga, teman terakhir ini aku kuburkan, seperti tiga yang lain, dua hari sebelumnya? Jika iya. Bagaimana aku katakan pada anak istrinya nanti? Seperti juga pertanyaan yang pasti berlompatan, dari keluarga tiga rekanku, yang kuburnya masih basah itu.

Asmawi berbeda. Dia lebih dari sekedar rekan kerja. Dia kuanggap keluarga yang tersisa. Seiring persamaan nasib kami, mengarungi riuhnya samudra air mata.

Aku pegang tubuhnya sekali lagi. Dingin. Aku harus percaya kenyataan ini, Asmawi benar-benar telah mati. Masih terbayang beberapa bulan lalu. Saat kapal yang menjemput kami bertugas datang. Isteri kami melepas dengan tatapan pasrah, meski mata berlinang. Mereka sudah akrab dengan kepahitan ini. Demikian juga anak-anak yang selalu menangis lantang, mereka yang tak pernah kami jaga sejak dilahirkan. Bagaimanapun juga, inilah pekerjaan yang tersisa untuk kami. Berbulan-bulan menyalakan dan menjaga cahaya mercusuar. Ada terselip keyakinan, bahwa pekerjaan ini masih berguna, bagi mereka-mereka yang harus melintas samudra. Biarlah jika kami terlupakan.

Hm. Bukankah hal seperti ini sudah selalu hadir dalam mimpi mereka? Nantinya, hanya sebuah kenyataan yang tercipta. Saat aku harus berkuat rasa, menyampaikan kabar duka.

Ku ambil cangkul yang terbiasa kami gunakan untuk bercocok tanam di pulau ini. Menanam apa saja yang bisa kami makan, karena mengandalkan dari daratan adalah sebuah kebodohan. Yang penting kami tidak mati kelaparan. Ku teguk air hujan, yang sedikit berlimpah karena cuaca. Tak seperti masa kering, di mana kami harus menenggak air kelapa. Jangan bilang itu nikmat, karena saat terlalu sering, perut kami rasanya seperti dikerat.

Lubang tanah yang selesai kugali sepertinya cukup. Untuk mengubur jasad Asmawi yang sudah mulai kaku. Kubaca doa sederhana yang aku bisa, lalu kutimbun depa demi depa tubuh sahabatku ini. Dengan gumpal demi gumpal tanah pulau kejam ini. Semua usai, tinggal aku sendiri, menikmati hujan badai yang bertiup dalam kegelapan musim ini. Kegelapan yang sudah menjadi teman dalam kesepian.

Aku menggigil, dingin sekali. Aku menangis, bahkan berteriak, hanya sedikit lega di dadaku yang sesak. Wajah-wajah anak dan istri mereka terbayang penuh tanya, juga lelehan jerit air mata. Akankah mulutku tega nantinya? Tiba-tiba pula aku rindu anak istriku sendiri. Bukankah aku juga memiliki? Wajah-wajah yang selalu mengisi mimpi, dari malam hingga terjaga saat pagi.

Sepertinya aku tak perlu gundah gulana. Anak istriku sendiri akan sulit kujumpa. Air mata pertama dan terakhirku untuk mereka. Malam semakin gelap, badai semakin kelam. Tubuhku semakin menggigil demam. Malaria yang tak pandang bulu,  sekian lama pula telah bersemayam. Aku hanya rasa  pasrah dan bertahan, ini soal menunggu waktu. Dan mercusuar itu, sedari dulu terdiam, tetap saja lengang membisu.

.

.

Jan/2011

C.S.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun