Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Haruskah Lebih Mulia Dahulu?

19 Desember 2011   02:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:05 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Setiap orang memiliki rasa, perasaan, pengamatan dan juga pengetahuan. Sedalam dan sedangkal apapun pengamatan yang ia lakukan terhadap sebuah hal, pastilah tetap menggunakan rasa di samping sebuah pengetahuan. Tak layak jika dinilai dengan pendapat mengenai sebuah kebodohan dan kepandaian belaka, apalagi dihubung-hubungkan dengan level yang abstrak yang disebut sebagai sebuah kemuliaan.

Setiap orang mempunyai hak untuk mengungkapkan pendapatnya, berdasarkan rasa, pengetahuan dan pengamatannya. Apapun hal atau yang anggaplah sebuah fenomena yang "mengusik" kenyamanannya. Saat sebuah peristiwa, terpampang dan berlalu lintas didepan matanya, semua pasti akan memiliki pendapat. Indah atau tidaknya, baik atau buruknya, apalagi jika diresapkan dalam sebuah keinginan apakah kita akan berdiam diri, menyetujui, mendukung ataupun menentangnya.

Sebuah hal yang wajar jika kita mengungkapkan keinginan kita, bahkan menjadi sebuah doa,  untuk ingin atau tidak ingin menjadi bagian dalam fenomena itu, ataupun keinginan agar orang-orang yang kita cintai baik itu keluarga, anak-anak kita, ataupun sahabat-sahabat kita menjadi bagian atau jangan sampai  tersentuh fenomena yang kita amati tersebut.

Sungguh justru menjadi sebuah kemunduran kecerdasan dan perasaan menurut Saya. Ketika kita mengungkapkan sebuah pendapat, berdasarkan rasa dan pengamatan kita, dibenturkan dengan sebuah sodoran pertanyaan tentang sebuah hal yang saya yakin manusia tidak menemukan titik absolutnya, yaitu tentang KEMULIAAN.

Sebuah pertanyaan yang aneh jika ketika kita mengungkapkan pendapat, rasa dan keinginan kita agar kita ataupun anak-anak kita ataupun keluarga kita untuk tidak menjadi bagian dari sebuah fenomena atau katakanlah jika layak disebut budaya yang dilakukan komunitas manusia tertentu, dibenturkan dengan sebuah pertanyaan "apakah anda merasa lebih mulia dari mereka?".  Jika ukuran kemuliaan itu dimintakan saat kita ingin mengungkapkan sebuah pendapat, bukankah menjadi tidak satupun manusia yang layak berkata-kata?

Ketika kita mengungkapkan budaya korupsi, budaya itu cukup mengusik rasa kita, lalu kita mengungkapkan keinginan dan doa kita, semoga kita dan anak-anak kita nanti tidak menjadi koruptor. Cerdaskah jika ada pihak yang menyodorkan tanya, apakah kita lebih mulia dari koruptor?

Ketika kita mengungkapkan budaya penggunaan narkoba, budaya itu cukup mengusik rasa kita, lalu kita mengungkapkan keinginan dan doa kita, semoga kita dan anak-anak kita nanti tidak pengguna narkoba. Cerdaskah jika ada pihak yang menyodorkan tanya, apakah kita lebih mulia dari pengguna narkoba?

Demikian juga ketika kita mengungkapkan pendapat kita terhadap latah/tidaknya komunitas anak-anak punker, budaya itu cukup mengusik rasa kita, lalu kita mengungkapkan keinginan dan doa kita, semoga kita dan anak-anak kita nanti tidak menjadi punker. Cerdaskah jika ada pihak yang menyodorkan tanya, apakah kita lebih mulia dari para punker? Apakah dengan menonton TV dan minum susu tiap pagi membuat kita lebih mulia dan beradab dari punker?

Apalagi jika yang kita ungkapkan adalah pendapat dan rasa pribadi, belum diiringi sebuah tindakan nyata yang ingin membina mereka, mengusik mereka, menyingkirkan mereka ataupun membumihanguskan mereka. Karena kita pun sadar, bahwa kita tinggal dalam sebuah masyarakat yang didalamnya telah terdapat norma. Dan secara sistem telah ada yang mempunyai kewajiban untuk mengambil tindakannya.

Saya rasa, semua pertanyaan tentang kemuliaan itu tetaplah tidak mampu menghalangi niat tiap individu untuk mengungkapkan pendapat dan perasaannya. Sebodoh atau secerdas apapun individu yang mengungkapkannya. Karena semua mempunyai pengetahuan, pandangan dan tentu saja perasaan.

Lalu, jika setiap orang harus terlebih dahulu "lebih mulia dan beradab" untuk sekedar mengungkapkan pendapat, pandangan, keinginan, ataupun doanya terhadap sebuah hal yang ditangkapnya, Saya kira tidak ada manusia di bumi ini yang mulutnya layak terbuka dan berkata-kata. Tak akan ada jari jemari, meski dari orang terpandai di dunia manapun akan menggoreskan sebuah tulisan. Tak ada manusia yang lebih mulia dari manusia lainnya, jika "standar kemuliaan" menjadi ukuran untuk mengungkapkan gagasan dalam rasa, maka hanya Tuhan yang layak menuliskannya, itupun jika anda percaya Dia ada. Silahkan saja jika anda percaya Dia ada, tak akan saya sodorkan tema kemuliaan, ketika anda mengungkapkan pendapat dan rasa, bahkan andaikata anda berdoa yang menginginkan anak-anak anda menjadi koruptor, pengguna narkoba ataupun punker sekalipun.

Salam mengungkapkan rasa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun