Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cincin Abadi

22 Februari 2012   09:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:19 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kupandang berseri bayi merah itu dari balik bingkai kaca ruang penjemuran. Ah, tidurnya pulas sekali, sepertinya dia sangat menikmati kehangatan mentari pagi. Lelaki mungil itu, anakku. Setelah beberapa tahun menunggu, akhirnya dia lahir juga dua hari yang lalu. Meski harus melalui bedah cesar di rumah sakit ini. Bidan tetanggaku merujuknya ke sini karena terpaksa, posisi anakku saat itu sungsang dan air ketubannya sudah pecah. Tak mengapa, aku percaya ini yang terbaik, yang penting anak istriku selamat dan akhirnya aku menjadi seorang ayah.

Setelah saat berjemur itu cukup, aku kembali ke ruang perawatan. Tampak istriku duduk di tepi pembaringan.

“ Gimana, Dik? Udah baikan?”

“ Lumayan, mas. Sudah tak sakit jika berjalan. Mas barusan melihat anak kita?”

“ Ho’oh, baru selesai dijemur. Lucu ya, pake dijemur, kayak kerupuk saja,..hehe”

“ Hush.., itu biar dia nggak kuning, Mas”

“ Iya...iya, Cuma bercanda. Lagian, anak kita juga suka kok, pules banget tidurnya”

“ Mirip kamu, Mas. Kalo tidur pules, susah dibangunin.., hihi”

“ Ho’oh,..tapi ada lho, Dik, yang lebih mirip kamu”

“ Apanya? Hidungnya?”

“ Bukaaan,...ilernya,....xixixixi..”

“ Ihhhhhh,...kumat!”

Gurauan kami sejenak terhenti dengan kedatangan seorang perawat yang mengantarkan anak kami untuk diberi ASI. Rupanya bayi kami ini cepat belajar, baru dua hari dia terlihat lancar menyusu pada ibunya.

“ Mas, sudah belum?”

“ Apaan, Dik?”

“ Besok kami sudah boleh pulang”

“ Oh,..itu..?”, aku garuk-garuk kepala

“ Iya, Mas. Sudah belum?”

“ Belum, Dik, masih kurang”

“Waduh, berabe nih, kami bisa disandera nanti”

Aku hanya tersenyum memandang istriku yang sibuk menyusui. Ah, dia tampak fasih menjadi seorang ibu, tak terlihat canggung menyusui anak kami.

Aku memang lumayan pusing kepala meski tersamar dengan rasa gembira karena lahirnya anak kami itu. Selama ini aku berharap istriku cukup melahirkan di bidan saja, kupikir dengan bersalin di bidan biayanya mampu aku tanggulangi. Namun ternyata Tuhan berkehendak lain, di rumah sakit bersalin inilah anakku harus dilahirkan, yang berarti biaya yang harus kusiapkan menjadi jauh lebih besar, jauh dari tabungan yang selama ini sedikit demi sedikit kami kumpulkan.

“ Dik..”

“ Ya, Mas..”

“ Sepertinya, kita harus menjual cincin kawin kita,....”, ujarku perlahan.

“ Hm,..emang sudah mentok ya, Mas..?” sahut istriku datar.

“ Iya, Dik. Susah banget nyari hutangan..”

“ Ya, udah, Mas. Jual saja, nggak papa..”

Aku tak menyangka istriku menjawab semudah ini. Aku masih ingat, selama ini, sejak pernikahan kami dulu, dia yang paling ngotot ingin agar cincin kawin itu selalu kami kenakan. Dia selalu marah jika setiap kesulitan uang aku sering mengusulkan hal itu. Jangankan menjual, saat aku terlupa mengenakannya pun dia selalu marah besar.

“ Bener, Dik. Nggak papa?”

“ Kan terpaksa?”

“ Iya, sih. Tapi serius, kamu nggak papa?”

“ Hihihi..., serius lah, Mas. Lagian aku memang sudah lama nggak pakai kok, nih lihat!”

“ Lho! Kok kamu curang..?”

“ Hihi,..bukan curang, Mas. Udah nggak muat, aku kan sekarang gendut..”

“ Waaah, lalu kamu simpan di mana?”

“ Ada di rumah, Mas, di laci lemari, satu kotak sama kuitansinya. Udah, Mas sekarang pulang, jual saja cincin kawin kita, lalu beres-beres rumah. Besok pagi segera ke sini, kami ingin cepat pulang”

“ Baiklah, jika begitu”

Kucium kening istriku, juga jagoan mungilku, lalu beranjak hendak ke luar ruangan. Sejenak aku lega karena menemukan jalan keluar, pusingku perlahan hilang. Tapi ketika tiba di pintu bangsal, aku kembali berbalik langkah, terbersit kembali sebuah keraguan.

“ Lho, Mas, kok balik lagi?”

“ Emmm. Bener Dik, nggak papa kalo cincin itu kita jual?”

“ Ihhhhh..., benerrr, Mas, bingung amat, sih?”

“ I..iya, deh. Kamu sabar saja ya, aku janji nanti aku belikan lagi, yang lebih besar..”

“ Maaaas. Sudahlah, nggak usah ngoyo. Yang penting, kita harus lebih rajin cari rejeki, buat beli susu anak kita nanti”

“ Pasti, Dik. Itu pasti..”

Lalu kulangkahkan kaki dengan mantap. Kali ini aku tak ragu lagi, cincin kawin itu semula memang menjadi tanda ikatan batin kami. Namun ketika ikatan batin yang nyata telah hadir, tanda emas itu hanyalah menjadi benda belaka. Anak mungil itu akan menjadi cincin abadi yang selalu melingkari ikatan kasih kami. Semoga Tuhan selalu membuka pintu-pintu rejeki untuk kami.

.

.

Febr/2012

C.S.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun