Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pagi di Dermaga Tua

9 September 2015   12:58 Diperbarui: 9 September 2015   15:39 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Ini pagi yang serupa, kala mentari belumlah terjaga. Di dermaga kecil yang telah lanjut usia. Bukan samudra, tapi hanya tepian sungai yang lalu menuju teluk, tempatnya bermuara. Di sini terkadang, perahu-perahu kecil bersandar, setelah menghantar para penumpangnya tiba dari kota. Kota tempat mereka dari pulau kecil ini mendekati pengharapannya. Harapan tentang hidup lebih baik. Setidaknya, di banding menunggu kelapa berbuah atau mencari ikan yang sulit membuat nasib berubah.

Ini pagi yang sama. Sama seperti, saat gadis manis itu menyambut lelaki pujaannya yang datang menapak tangga dermaga. Wajahnya lusuh menyibak dingin, dan pekatnya kabut bersama angin. Dulu, dia pernah berkata, sang gadis adalah wanita yang ia damba. Walau tak pernah terucap dibibirnya sepotong pun kata-kata cinta.

“ Dingin ini tak baik untukmu, Dik”

“ Setiap pagi aku mengharapkan kau tiba, Bang”

Itu tegur dan sapa mereka, setiap kali di pagi yang sama ketika peluk mereka berpagut.

“ Ternyata kota tak seramah yang kukira, Dik”

“ Tak usahlah kau kembali ke kota, Bang. Di sini kita hidup seadanya”

“ Bersabarlah, Dik. Aku belum menyerah. Setelah cukup kudapat untuk perahu dan sawah, aku segera melamarmu”

Gadis itu pun berseri mengangguk. Dalam pasrah, menikmati rengkuhan dibahunya, sembari berjalan beriring menyusuri jalanan desa yang basah.

Ini pagi yang sama. Seperti bertahun-tahun yang telah lalu. Setelah terakhir kali sang gadis ingin menyambut datangnya lelaki itu. Namun, nyatanya yang tiba hanyalah berita. Berita tentang tenggelamnya sebuah perahu, ketika separuh jarak menuju dermaga. Tiada yang selamat, katanya. Ombak yang menghantam begitu besarnya, hingga perahu pecah, lalu tenggelam, semua tak tentu rimbanya. Sang gadis menangis, saat itu. Namun hatinya selalu berpengharapan, lelaki itu tiada menjadi salah satu penumpangnya. Hanya saja, semenjak itu mereka tiada pernah lagi bertemu. Meskipun hari, minggu, bulan dan tahun berlalu, beranjak bersama waktu.

Ini pagi yang sama, mentari belumlah terjaga. Dan gadis itu masih saja setia. Menunggu datang, lelaki yang hendak ia sambut. Abai pada gigil yang mengembun wajah, berjendelakan mata yang berkaca dan senyum berbisik tentang hampa. Ia masih saja meratap, berharap, lelaki itu hadir bersama pagi menyibak kabut. Rindunya tak pernah larut. Seakan tiada pernah sirna, hangatnya peluk dan damainya sapa, walau tanpa kata-kata cinta.

Entah, sampai kapan, ia menanti dalam kebisuan. Mungkin sepanjang masa. Seperti pagi yang sama, di dermaga yang semakin menua. Sebatas saatnya tiba mentari terjaga dan sayup-sayup bayang gadis itu larut, pergi bersama kabut. Tinggalkan nyanyian ombak dan derak kayu-kayu dermaga. Dermaga tua yang selalu mengenang kisahnya.

***

Riau

9/9/15

C.S.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun