Mohon tunggu...
M Chozin Amirullah
M Chozin Amirullah Mohon Tunggu... Relawan - Blogger partikelir

Antusias pada perubahan sosial, aktif dalam gerakan mewujudkannya. Menghargai budaya sebagai bunga terindah peradaban. Memandang politik bukan sebagai tujuan namun jalan mewujudkan keadilan sosial. Tak rutin menulis namun menjadikannya sebagai olah spiritual dan katarsis. Selalu terpesona dengan keindahan yang berasal dari dalam. Ketua Gerakan Turuntangan, Mengajak anak muda jangan hanya urun angan tetapi lebih bauk turun tangan. Kenal lebih lanjut di instagram: chozin.id | facebook: fb.com/chozin.id | twitter: chozin_id | Web: www.chozin.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bukan KKN di Desa Penari, tapi di Sragi

13 Juli 2022   11:47 Diperbarui: 13 Juli 2022   12:27 813
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(dokpri) bersama mahasiswa KKN di sebuah rumah peninggalan Belanda

Alkisah dimulai ketika aku memutuskan pulang kampung mendadak pada Lebaran Haji 2022. Keputusan ini diambil selepas menunaikan sholat shubuh dan kebetulan agenda kantor hari itu landai. Lantas keputusan untuk pulang ditetapkan waktu itu juga.

Pukul 06.00 berangkat naik ojek online alias ojol ke stasiun MRT Lebak Bulus menuju stasiun Bundaran HI. Kemudian bergeser ke stasiun gambir untuk perjalanan menuju Pekalongan. Tiket kubeli dengan cara goshow alias tanpa reservasi. Sebab, pengalaman selalu dapat. Secara geografis kota Pekalongan diuntungkan—posisinya, titik tengah rute kereta Jakarta Semarang dan Jakarta Surabaya.

Ringkas cerita, setibanya di kampung halaman Tegalontar, Sragi, ternyata ada 10 (sepuluh) mahasiswa IPB (Institut Pertanian Bogor) yang sedang KKN (Kuliah Kerja Nyata). Rinciannya, 7 (tujuh) perempuan dan 3 (tiga) laki-laki. Yang perempuan tinggal di rumah kosong yang tak berjarak dari rumahku. Sedang  laki-laki, mendiami rumahku. Yang laki-laki justru yang tinggal di rumahku. Namun, dalam kesehariannya para mahasiswa ini kumpul di rumahku.

(dokpri) bersama mahasiswa KKN di sebuah rumah peninggalan Belanda
(dokpri) bersama mahasiswa KKN di sebuah rumah peninggalan Belanda
Saat matahari mulai meninggi, sambil melepas lelah perjalannan,  aku ngariung dengan mereka, mendengarkan cerita dan rencana programnya. Diantaranya, mereka merencanakan program pilah-sampah, hidroponik, campaign anti-stunting, dan sebagainya.

Dari apa yang mereka sampaikan tentang warga kampung, ada yang kugarisbawahi. Salah satunya soal ‘kefanatikan’ masyarakat dalam bertani. Mereka maunya hanya menanam padi, padi dan padi. Saat diberi pandangan beberapa alternatif tanaman lain dalam pertanian, mereka terkesan menentang, tepatnya tidak berani untuk mencoba. “Fanatisme terjadi bukanya dalam soal agama saja, gais! Dalam hal cara bertani juga ada ‘fanatisme’ ternyata,” ujar dari salah satu mahasiswa itu.

Desaku memang telah perpuluh tahun atawa bahkan ratusan tahun dimanjakan dengan melimpahnya suplai air irigasi untuk persawahan. Di lokasi itu terdapat pabrik gula PG Sragi, yang berdiri sejak tahun 1928 (17 tahun sebelum Indonesia merdeka). Pabrik mengolah tebu menjadi gula menggunakan mesin uap. Kebutuhan air untuk menghasilkan tenaga uap luar biasa banyak. Zaman itu, Belanda sampe harus membendung sebuah sungai yang cukup besar demi mengalirkan air ke pabrik tersebut.

Buangan air dari mesin uap itu menjadi berkah buat warga. Limpahan itu (bukan limbah) dialirkan ke irigasi persawahan, salah satunya sampai di kampung kami. Belum lekang dari ingatan, meski jarak antara pabrik dan kanal-kanal irigasi berkilo-kilo meter, namun air itu masih hangat saat mengalir di kanal-kanal irigasi kampung kami. Begitu melimpahnya air, hingga sawah-sawah tak kenal kenal musim kemarau. Karena melimpahnya, dalam setahun bisa tiga kali menanam padi.

Tapi, itu semacam romantisme masa lalu. Sekarang tak lagi. Pabrik itu, mesin-mesinnya kian renta, suplai bahan bakunya (tebu) juga semakin jarang. Produktivitasnya tak sedahsyat dulu lagi, demikian juga limpahan air dari mesin uapnya, sudah semakin sedikit. Kanal-kanal irigasi itu sudah kering, padi tak lagi bisa dipanen tiga kali dalam setahun. Sebab, tanaman padi hanya mengandalkan air pada saat musim hujan. Sisa bulannya, dibiarkan kosong tak ditanami.

Kultur tani-sawah yang berlangsung hampir ratusan tahun rupanya telah menjadikan masyarakat ‘fanatik’ pada padi. Mereka dan tak berani mencoba tanaman lain, misalnya palawija atau sayur-mayur. Fanatisme buta inilah yang dianggap ‘horor’ oleh mahasiswa KKN IPB. Jadi bukan horornya penari berwajah menyeramkan seperti dalam kisah film “KKN di Desa Penari”, melainkan horor masa depan petani desa kami jika tak berani mengubah mindset bertani []

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun