Mohon tunggu...
M Chozin Amirullah
M Chozin Amirullah Mohon Tunggu... Relawan - Blogger partikelir

Antusias pada perubahan sosial, aktif dalam gerakan mewujudkannya. Menghargai budaya sebagai bunga terindah peradaban. Memandang politik bukan sebagai tujuan namun jalan mewujudkan keadilan sosial. Tak rutin menulis namun menjadikannya sebagai olah spiritual dan katarsis. Selalu terpesona dengan keindahan yang berasal dari dalam. Ketua Gerakan Turuntangan, Mengajak anak muda jangan hanya urun angan tetapi lebih bauk turun tangan. Kenal lebih lanjut di instagram: chozin.id | facebook: fb.com/chozin.id | twitter: chozin_id | Web: www.chozin.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Santri dan Semangat Anti-Kolonialisme

22 Oktober 2021   19:39 Diperbarui: 22 Oktober 2021   20:04 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://nurulhudakintamani.blogspot.com/

Jangan dilihat santri dalam konteks sekarang. Mari kita lihat santri pada pra-era kini. Waktu itu, santri adalah sebuah kata yang kurang dikenal publik modern Indonesia. Jikapun dikenal, kata itu asosiatif dengan nada peyoratifnya sebagai kaum sarungan, sederhana (sebagai penghalusan dari kata 'lugu'), hidup apa adanya, 'ndeso, kurang fasih berbahasa Indonesia, dan tidak akrab (untuk tidak mengatakan anti) dengan pemerintah. Oleh Clifford Geertz kata santri bahkan dikontraskan dengan kaum abangan yang sudah terlebih dahulu beradaptasi dengan ke-moderen-an.

Saya ajak Anda mereflkesikan paragraph di atas dengan pengalaman pribadi saya. Saya barangkali, satu diantara sekian ribu dan juta generasi muda Indonesia yang terlahir dan tumbuh dari lingkungan santri. Terlahir dari seroang ayah perintis dan mengelola sebuah pesantren tradisonal, sudah sejak lahir saya terbaptis sebagai seorang 'santri'.

Sejak kecil selalu skeptis denga apa-apa yang berbau modernisme, kebarat-baratan, dan apalagi pemerintah. Sekolah umum (non-madrasah/pesantren) adalah jalan masuk menuju kehidupan sekuler yang jauh dari nilai-nilai agama. Pesantren mustinya sudah cukup dengan kitab-kitab kuning tanpa perlu dicampuri dengan kurikulum infiltrasi dari 'Barat'. Pesantren yang membuka kelas-kelas pendidikan umum bagi kami adalah latah, mereka akan terkooptasi oleh sistem modernisme menjauhkan dari nilai-nilai agama.

Saya masih ingat, suatu saat saya diterima di sebuah SMA favorit di kota, saya sama sekali tak merasa bangga. Karena saya tak menganggap pendidikan sekolah lebih penting dari pada pendidikan pesantren. Pun saat diterima di sebuah perguruan tinggi negeri paling bergengsi di Yogyakarta, hampir tak ada teman santri atau keluarga yang memberikan selamat. Sebab meraka tak paham apa itu universitas? Bahkan mereka khawatir saya akan kehilangan ke-santriannya, hidup secara modern yang sekuler, dan menjadi kolaborator pemerintah.

Dogma anti modernisme dan pemerintah itu tertanam kuat, sehingga saya tak pernah bercita-cita menjadi pegawai negeri. Alasannya, sebagaimana yang diajarkan oleh para senior-santriku, berprofesi pegawai negeri berarti makan gaji, yang uangnya diambil dari pajak barang halal dengan barang haram, digabung. Rezekinya tidak bersih, subhat!  

Setidaknya itulah pemahaman saya saat menjadi santri kecil waktu itu. Ayah saya bahkan membuktikan jalan hidupnya yang anti mainstream itu dalam kehidupan sehari-sehati. Ia mendirikan pesantren dengan sama sekali tak mau mendapatkan bantuan dari pemerintah, sepenuhnya dari hasil usaha mandiri di bidang pertanian dengan tenaga kerja murah dari pengabdian para santrinya. Pun, pernah suatu saat, tahun 1970-an saat negeri ini masih kekurangan guru SD, ia ditawari untuk menjadi guru negeri, ia menolak.

Saya kira, sikap-sikap di atas adalah residu dari sikap-sikap anti-kolonialisme santri. Beratus tahun pesantren (dengan para santrinya) hidup dalam resistensi melawan kolinalisme. Sikap-sikap anti modernisme, menjauhi materialism, dan bahkan anti-pemerintah adalah sikap-sikap perlawanan waktu itu. 

Tak mau sekolah umum, tak mau kuliah, dan tak mau bekerja di pemerintah adalah sikap-sikap anti pemerintah Hindia-Belanda. Namun, pasca kemerdekaan, sikap-sikap itu terlanjur menjadi cara hidup kaum santri dan pesantren. Sebenarnya saya beruntung menjadi santri (tradisional) sehingga setidaknya bisa merasakan nuansa ratusan tahun perlawan (non-senjata) kaum santri terhadap kolonialisme.

Tapi kini zaman berubah. Pasca diresmikannya Hari Santri oleh Presiden Jokowi, kata santri memiliki makna yang outstanding, penuh tepuk-tangan. Santri tak lagi dipandang sebagai kategori yang anti kemapanan dan anti-kemoderenan. Santri bahkan menjadi kebanggan dan simbol eklektisme pendidikan ala nusantara yang mampu melakukan domestikasi terhadap apapun yang dianggap berasal dari luar, dan lalu dikawinkan (baca: dikayakan) dengan kekayaan nilai budaya nusantara. Selamat Hari Santri!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun