Mohon tunggu...
M Chozin Amirullah
M Chozin Amirullah Mohon Tunggu... Relawan - Blogger partikelir

Antusias pada perubahan sosial, aktif dalam gerakan mewujudkannya. Menghargai budaya sebagai bunga terindah peradaban. Memandang politik bukan sebagai tujuan namun jalan mewujudkan keadilan sosial. Tak rutin menulis namun menjadikannya sebagai olah spiritual dan katarsis. Selalu terpesona dengan keindahan yang berasal dari dalam. Ketua Gerakan Turuntangan, Mengajak anak muda jangan hanya urun angan tetapi lebih bauk turun tangan. Kenal lebih lanjut di instagram: chozin.id | facebook: fb.com/chozin.id | twitter: chozin_id | Web: www.chozin.id

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perlawanan dari Kampung Pulo

13 Juni 2017   15:46 Diperbarui: 14 Oktober 2017   05:32 1356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertemuan besar dengan warga memang tak jadi dilakukan. Kami datang terlalu awal, sementara warga sedang ada acara tahlilan. Kami datang lebih awal, yaitu sehabis maghrib, karena ada komitmen satu acara pertemuan relawan lagi di bilangan Cipinang. Sementara kami juga tak mungkin meminta warga untuk menghentikan tahlilan dan bergabung dengan kami. Akhirnya kami hanya ditemui oleh tiga orang, salah satunya adalah pentolan Kampung Pulo bernama Pak Dedi.

Pak Dedi adalah kontak person kami untuk mobilisasi. Dia adalah salah mantan koordinator relawan normalisasi. Istilah normalisasi digunakan sebagai kata pengganti penggusuran yang dilakukan terhadap permukiman-permukiman padat, khususnya di bantaran sungai Ciliwung. Menjadi gubernur DKI Jakarta, Jokowi memang dikenal komunikatif dengan warga. Jika terpaksa ada penggusuran, maka dilakukan dialog terlebih dahulu dengan warga dan dibicarakan soal kompensasi serta proses pemindahannya. Hal itu pulalah yang dilakukan di Kampung Pulo. "Kita jangan bicara menggusur tetapi normalisasi, jangan sampai ada warga yang dirugikan," ungkap Pak Dedi mengutik kata-kata Jokowi.

Kebijakan ini awalnya menetes ke birokrasi. Buktinya waktu awal-awal periode Jokowi sebagai gubernur DKI, dialog selalu terjadi. Pak Dedi masih ingat, waktu itu sekitar bulan April 2013, semua elemen masyarakat di Kampung Pulo dihadirkan di kantor kecamatan. Jumlahnya sekitar 250 kepala keluarga. Mereka diajak berembug mengenai proses pemindahan yang akan dilakukan terhadap warga Kampung Pulo yang akan terkena. Dia masih ingat persis kata-kata camat Jatinegara waktu itu: "Jangankan rumah, kandang ayam dan pohonpun (jika terpakasa musti dipindahkan) akan dibayar."

Kata-kata itu membuat warga tenang. Mereka berharap proses pemindahan akan berjalan dengan smoothdan damai. Hal itu diperkuat saat kemudian datang tim dari Pemprov melakukan pengukuran tanah-tanah warga. Warga senang, proses pemindahan akan berjalan lancar dan mereka akan dapat ganti rugi yang layak.

Tetapi apa lacur. Tak sampai dua tahun, tepatnya tahun 2014 Jokowi melenggang menjadi Presiden RI. Posisi sebagai gubernur Jakarta ditinggalkan dan digantikan oleh wakilnya Basuki Tjahaja Purnama. Awal tahun 2015, warga dikumpulkan lagi, rapat dengan bidang Tata Ruang Pemprov DKI. Suasana jauh dari yang dibayangkan warga. Keluar pernyataan dari yang memimpin pertemuan, yang membuat warga tersedak mendadak, bahwa tidak akan ada penggantian bagi rumah-rumah yang akan digusur. Sontak warga kecerwa. Mereka marah, merasa dikhianati oleh janji-janji yang dulu dilontarkan ketika era Jokowi.

Bersama sebuah lembaga bantuan hukum Cerdas Bangsa, warga membentuk Relawan Normalisasi Kampung Pulo. Relawan ini dibentuk sebagai wadah untuk melakukan negosiasi kepada gubernur yang baru. Mereka protes kepada Pemprov, melakukan hearing dengan DPRD dan bahkan mengorganisir aksi demonstrasi di Istana Negara. Tapi tak pernah ada respon dari Gubernur. Jokowi yang dulu pernah berjanjipun kini singgasanya sudah terlalu tinggi. Teriakan-teriakan dari warga Kampung Pulo tak terdengar lagi olehnya.

Hingga tibalah saatnya, tepatnya hari Kamis tanggal 20 Agustus 2015 eksekusi terhadap rumah-rumah warga dilakukan. Warga berusaha menghadang, mereka mencoba merengsek ke depan menghalau buldozer yang akan meluluhlantakkan rumah-rumah mereka. Koordinator relawan normalisasi sempat bernegosiasi dengan camat, tetapi gagal. Buldoser terus merengsek. Warga melawan. Semakin terdesak lagi. Bentrokan fisik antara warga dengan aparatpun pecah. Tetapi apa daya warga, mereka tak bersenjata, mereka tak memiliki otoritas, mereka kalah.

Selepas jam 12 siang, sekitar 22 warga ditangkap dengan tuduhan sebagai 'provokator'. Sorenya, 2 orang warga lagi ditangkap dengan tuduhan pembakaran bego (buldozer). Belakangan dua orang itu dilepas lagi karena polisi tidak bisa membuktikkan jika mereka yang membakar. "Tahu sendiri, kadang dalam suasana chaos, perusakan atau pembakaran justru dikerjakan oleh pelakuknya sendiri", dalam hati kami berguman. "Waktu itu, suasana Kampung Pulo sudah layaknya kampung teroris, di setiap gang ada aparat menenteng senjata. Pasukan mereka awalnya 2000, lalu bertambah menjadi 4000-an, dengan senjata komplit", kenang Pak Dedi.

Ia menambahkan bahwa Kejadian itu membuat trauma bagi anak-anak. Sambil menunjuk seorang anak kecil yang kebetulan waktu itu sedang bermain di sekitar kami (namanya Fajri, 6 tahun), Pak Dedi menjelaskan bahwa anak itu saat ini kalau melihat banyak polisi langsung menangis ketakutan. Ia trauma pada seragam polisi. "Jadi jangan harap ada anak di sini yang memiliki cita-cita menjadi polisi. Jangan harap! Jangankan pengen jadi polisi, melihat seragamnya saja sudah ketakutan", tegasnya.

Saya bisa merasakan apa yang ada dibenak anak-anak itu. Saya sendiri pernah mengalaminya saat sebelum reformasi dulu. Saya di Pesantren dulu, usia SMA sudah demo anti rezim Orde Baru, waktu itu demo anti SDSB. Yang saya hadapi ya polisi, saat dibubarkan kami dikejar-kejar dan dipukuli. Hal itu berlanjut sampai kuliah. Kebetulan waku pas ramai-ramainya reformasi, setiap demonstrasi yang kami hadapi adalah polisi dan bahka tentara. Tak jarang saya menjadi bulan-bulanan dipukuli aparat. Perlu waktu bertahun-tahun bagi saya untuk merasakan benar-benar merasakan nyaman berinteraksi kembali dengan mereka.

Masih menurut Pak Dedi, bagi warga, sebenarnya tak masalah jika harus pindah karena alasan pembangunan. Tetapi mereka hanya menuntut penggantian yang manusiawi. "Jika hanya diusir begitu saja seperti mengusir ayam, kami mau makan apa? Kenapa pada zaman Foke dulu bisa ada penggantian, sedangkan yang sekarang tidak? Aset kami khan tertanam pada rumah yang digusur itu. Belum lagi di tempat yang baru kami harus membayar sewa, mau dapat uang dari mana lagi?", sergahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun