Sya’ban yang berarti lembah dipakai untuk sebagai nama bulan (yang bertepatan dengan bulan April), adalah saat dimana para petani pergi ke lembah untuk memulai pertanian dan peternakan. Mereka pergi ke lembah untuk menanam dan membawa ternak untuk merumput.
Kemudian Ramadhan, artinya panas/pembakaran, digunakan untuk menyebut hari-hari yang suhunya mulai memanas. Bulan ini bertepatan dengan bulan Mei. Waktu itu sudah ada tradisi berpuasa pada bulan Ramadhan, yang kemudian pada masa Islam menjadi diwajibkan, sebagaimana disebutkan dalam Alquran surat Ali Imran 183.
Bulan Syawal (yang berarti kenaikan), bertepatan dengan bulan Juni yang suhunya mulai menaik. Puncak panas jatuh pada pada bulan Dzul-qa’dah, dimana orang-orang enggan untuk bepergian karena suhu di luar panas. Oleh karena itu bulan ini dinamakan dengan Dzul-qo'dah, yang berasal dari kata qo'ada (duduk). Pada saat itu orang-orang lebih suka tinggal (duduk) di rumah saja. Bulan ini bertepatan dengan bulan Juni.
Dan terakhir adalah bulan Dzul-hijjah yang berasal dari kata hajj, artinya bulan haji). Bulan ini adalah waktu dimana orang-orang Arab berkunjung ke Mekah untuk mengenang peninggalan nenek moyang mereka Nabi Ibrahim berupa batu Ka'bah.
September = Muharram (yang dimuliakan) Oktober = Safar (menguning) November = Rabi’ul Awal (gugur awal) Desember = Rabi’ul Akhir (gugur akhir) Januari = Jumadil Awal (stagnan awal) Februari = Jumadil Akhir (stagnan akhir) Maret = Rajab (meleleh) April = Sya’ban (lembah) Mei = Ramadhan (panas) Juni = Syawal (kenaikan) Juli = Dzul-qa’dah (duduk) Agustus = Dzul-hijjah
Saat nabi mengubah kalender uni-solar menjadi kalender lunar secara penuh (sebagaimana dalam surat At-taubah 36-37 di atas), Nabi masih tetap mempertahankan nama-nama bulan sebagaimana sebelumnya. Nama-nama bulan Muharram, Shafar, Rabi’ul Awwal, Rabi’ul Akhir, Jumadl Awal, jumadil Akhir, Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawal, Dzulqo’dah, Dzulhijjah masih tetap digunakan, hanya saja tidak lagi merepresentasikan musim.
Perintah Allah melalui Nabi Muhammad untuk bergeser dari kalender luni-solar ke kalender lunar murni telah menciptakan perdamaian antara orang-orang Arab waktu itu. Orang-orang tidak lagi berkonflik hanya untuk menentukan tahun nasi ‘. Belajar dari cerita tersebut, kita dapat melihat bagaimana Islam (yang berarti damai) pada era Nabi Muhammad SAW adalah memang benar-benar menjadi sarana resolusi konflik dan membawa perdamaian bagi masyarakat.
Manfaat lain menggunakan kalender lunar murni bagi umat Islam adalah bahwa tujuan Islam sebagai agama yang tidak hanya diperuntukkan bagi orang Arab saja, melainkan bagi semua manusia, adalah benar. Wamaa arsalnaaka illa rahmatan lil’aalamiin (Allah tidak memilih dia sebagai utusan kecuali untuk memberkati bumi).
Bisa dibayangkan, jika penanggalan Islam masih menggunakan kalender matahari (solar), orang-orang yang berada di belahan bumi utara akan selalu memiliki hari-hari berpuasa Ramadhan lebih panjang dibandingkan dengan orang-orang yang hidup belahan bumi sebelah selatan bukan? Dengan menggunakan kalender lunar, orang-orang yang hidup di belahan bumi bagian utara kadang-kadang berpuasa Ramadhan lebih panjang dan juga kadang berpuasa lebih pendek - demikian juga sebaliknya. Artinya, ajaran-ajaran Islam cocok untuk diterapkan di belahan bumi mana saja.
Tentang Nama dan Angka Tahun Hijriyah
Pada era Nabi Muhammad SAW, sebenarnya belum ada istilah kalender tahunan Hijriyah. Yang ada adalah kalender bulanan dengan nama-nama bulan sebagaimana disebutkan di atas, tetapi tidak ada angka tahunnya. Waktu itu, tahun hanya ditandai dengan momen/kenangan terbesar yang terjadi pada saat itu.