Mohon tunggu...
Cholish Hafizh
Cholish Hafizh Mohon Tunggu... -

Just a simple man

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Jhon Lenon, Disonansi dan Kebekuan Formalitas

12 April 2014   04:50 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:46 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

"What is great in man is that is a bridge and not a goal; what can be loved in man is that is going-across and a down-going". (Thus Spoke Zarathustra)

N

arasi di atas ditulis oleh Friedrich Nietzsche dalam prolog Zarathustra yang sempat menjadi perhatian di akhir abad ke-19 M. Membacanya, membuat pikiran saya bergejolak. Pemahaman saya tentang makna dan peran hidup serasa digugat. Apalagi dalam lingkup kebudayaan kita yang banyak terbangun oleh kerja-kerja pendidikan yang dilayani oleh sistem yang begitu menggurita di jagad negeri ini.

Saya kemudian merasa malu. Selama ini, saya yang ikut aktif terlibat dalam unit-unit praktek pendidikan hanya melulu berorientasi untuk memperkuat dan membela kelangsungan sistem yang sudah ada, serta menutup kemungkinan untuk menjelajahi alternatif-alternatif yang lain. Langkah-langkah inovatif untuk itu ternyata tidak lebih hanya senandung kidung yang ingin melanggengkan harmoni sebuah sistem melalui usaha-usaha melioris, jauh dari relevansi tujuan kemanusiannya. Sebuah lakon arogansi yang menampik pencapaian-pencapaian di luarnya, karena dianggap membangkang pada grand-system yang begitu perkasa karena memang dikawal oleh kebijakan politik penguasa.

Coba lihatlah sekolah-sekolah kita. Dengan memperketat struktur dan jenjang kelembagaannya, dan dengan menata isi dan metode pendidikan yang melayani sistem itu, juga memberikan otoritas formal kepadanya untuk menentukan jalur dan jalan hidup seseorang, maka lengkaplah sudah usaha memantapkan sistem tersebut sebagai lembaga yang betul-betul sangat formal. Tingginya kadar sifat formal itu seakan membuat kita terobsesi pada rigiditas bentuk luarnya saja, tanpa peduli pada kesejatian isi dan makna teleologis dari sistem itu. Dan formalitas kemudian dirayakan untuk sebuah harmoni yang konon bisa menjamin masa depan.

Padahal, yang di luar dari harmoni tidak selamanya menjanjikan kegalauan dan kepekatan. Seperti ketika kita mencoba mengganti nada sol pada lagu "Tuhan"nya Bimbo dengan nada apapun, maka keagungan lagu rohani yang sangat populer itu akan menjadi kegalauan yang menyakitkan. Dan sebaliknya, ketika Jhon Lenon dengan sengaja mencabik-cabik harmoni dan menghardik dunia dengan disonansi, yang terjadi adalah pengalaman menarik bahwa disonansi ternyata juga begitu memabukkan karena indahnya. Dan revolusi pun terjadi. Disonansi yang membawa disharmoni ternyata juga cantik dan enak di dengar.

Dalam konteks pendidikan di negeri ini, saya sekali lagi merasa malu sekaligus sedih sewaktu mengingat jejak langkah selama ini. Menggempur semua bentuk disonansi hanya untuk melanggengkan harmoni yang usang itu. Tanpa sempat berbenah diri untuk mengurai semua isi yang melandasi keabsahan kehadirannya. Tanpa sempat menyadari bahwa keharmonisan itu telah berhenti hanya pada dirinya sendiri. Keluar, justru yang ditebar adalah kondisi centang perenang dan carut-marut karakter bangsa dan tata berbudaya kita. Karena semua lubang yang menjadi saluran proses berbudaya dari bangsa ini telah banyak tersumbat oleh formalitas yang cenderung memasung kejujuran dan kreatifitas anak-anak bangsa.

Dengarlah kidung yang ditembangkan, lalu apresiasikan dengan kebanyakan pagelaran lakon yang ditampilkan oleh kebanyakan khalifah di jagat negeri ini. Simaklah tembang lirih berirama altruisme, tapi saksikan juga lakon barbar dan menindas penuh kecongkakan. Perhatikan pekik yang mencanangkan integritas dan kehormatan, tetapi kemudian secara telanjang ia memamerkan dirinya sebagai pahlawan kesiangan yang korup dan menyembunyikan kerakusannya di bawah ketiak rakyat. Suluknya membeberkan mulianya "self esteem" dan harga diri, tapi amalannya seringkali berupa deprivasi dan penghancuran martabat kemanusiannya. Wiridannya berupa takbir yang konon ingin menggapai sifat keilahian, tapi sikap kesehariannya justru menginjak-injak pesan kasih sayang Tuhannya. Bagaikan sang rabi Yahudi yang hanya berputar-putar dalam lingkaran liturgi spiritual "mitzvot"nya.

"Nihil fit sine causa", demikian Leucipos sang filusuf Yunani mensabdakan sunnatullah bagi alam semesta. Kegemaran kita membaca secara ~ad infinitum~ perkara pendidikan dan segala tetek bengeknya, tanpa membuka cakrawala bagi proses berbudaya yang jujur pada nilai ketuhanan dan kemanusiaannya, hanya menjadikan pendidikan itu sendiri sebagai sumber masalah bagi peradaban manusia. Dan pada pokok ini kita diajari untuk memulai proses pendewasaan dengan berani menerobos batas-batas primordial yang memang tidak esensial dari segi kemanusiaan. Berani untuk menganggap bahwa tembok formalitas itu bukanlah garis demarkasi yang bisa menentukan nasib kita. Karena yang dibutuhkan adalah fleksibelitas yang bisa melayani kelangsungan proses berbudaya manusia secara utuh. Sebuah proses yang sublim di tengah hiruk-pikuk kecongkakan yang justru sering menenggelamkan sisi kemanusiaan kita.

Membaca Nietzsche, saya kemudian sadar. Mungkin saja usaha kita selama ini untuk merangkum pancaran warna bianglala hanyalah refleksi fatamorgana. Tembang berirama disonansi yang dilantunkan sang filsuf "gila" itu telah banyak mengajari kita tentang proses dialektika hidup ini. Dan akhirnya kita pun mengerti, bahwa tak selamanya yang puing itu lebih rendah nilainya dari pada monumen yang selalu dikeramatkan.[]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun