Nah, pada zaman Orba, dari Jakarta, simbah kakung kemudian membangun sekolah negeri di seluruh Indonesia menurut suara hatinya. Akhirnya di pelosok ada sekolah tuyul karena tidak ada siswanya. Di kota, ada sekolah pagi dan sekolah sore di tempat yang sama, karena wilayah tersebut kekurangan sekolah. Yang paling tahu kebutuhan sekolah di wilayahnya tentu saja adalah Pemdanya sendiri.
Lalu datanglah zaman reformasi dimana Pemda diberi otonomi membangun daerahnya sendiri.
22 tahun reformasi berjalan, masalah pendidikan tetap saja karut marut dan peringkat Indonesia semakin terpuruk diantara negara-negara lain. Kemendikbud itu adalah regulator pendidikan. Namun pembangunan dan keberlangsungan sekolah di daerah adalah tanggung jawab Pemerintah (Daerah) itu sendiri. Jangan salah kaprah.
Atau kalau mau, dana pendidikan di APBD Daerah diserahkan ke Kemendikbud, agar Kemendikbud yang bertanggung jawab untuk seluruh penyelenggaraan pendidikan nasional.
Jadi soal naik-turun zonasi ini tidak perlu diperdebatkan karena masih bersifat trial, dimana tujuannya adalah untuk kepentingan para siswa itu sendiri. Pada akhirnya kita akan mendapatkan berapa persen komposisi terbaik untuk sistim zonasi ini, yang bisa saja akan berbeda-beda di beberapa daerah.
Lagipula ibu ini terkesan ingin "mengadu domba" kebijakan Muhajir Effendy dengan Nadiem Makarim. Untuk apa? Untuk membuat kegaduhan baru?
Nah, untuk penambahan sekolah negeri di beberapa daerah (agar dicapai angka ideal) maka ibu Retno seharusnya ngegas Pemerintah (Daerah) setempat, bukan Mendikbud.
Jadi surat ibu Retno ini seharusnya dialamatkan ke Pemda. Kalau dialamatkan ke Kemendikbud, itu berarti salah alamat seperti alamat palsunya Ayu Tingting...
(Bersambung)