Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Fenomena Liar Liverpool Musim 2019/2020

16 Oktober 2019   13:02 Diperbarui: 16 Oktober 2019   13:12 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Liverpool juara Piala UEFA, sumber: farsnews.com

Ada beberapa hal aneh yang terjadi di EPL (English Premiere League) hingga pekan kedelapan bulan Oktober 2019 ini.

Yang pertama tentu saja terkait hasil buruk sang petahana, Manchester City yang sudah mengantungi dua kekalahan dari delapan laga yang mereka lakoni.

Teranyar City terjungkal dari tamunya, Wolverhampton Wanderers dengan skor 0-2 di stadion Etihad sendiri. Pencapaian City ini tentu saja sulit diterima Pep dan para fans City sendiri. Kini City tertinggal 8 poin dari sang pemuncak klasemen, Liverpool.

Akan tetapi City tidak sendirian. Tottenham Hotspur dan "sitetangga berisik," Manchester United nasibnya jauh lebih memelas. Kedua pesaing Liverpool ini terjerembab di klasemen papan tengah EPL.

Kemarin itu, MU digebuk Newcastle 1-0, sedangkan Hotspur dilibas Brighton dengan skor telak 3-0.

Pochettino (pelatih Hotspur) dan Solskjaer sebagai pelatih MU sendiri sulit memahami "awan mendung" yang melanda tim mereka ini. Padahal mereka ini tadinya sangat optimis akan menjalani musim yang lebih baik dari musim lalu.

Dua musuh bebuyutan Liverpool lainnya, Arsenal dan Chelsea, justru mulai merangkak naik ke papan atas klasemen, setelah sebelumnya tertatih-tatih ketika memulai kompetisi musim ini.

Minggu lalu Arsenal membekap Bournemouth dengan skor tipis 1-0 untuk menyegel posisi tiga klasemen. Sementara "pasukan bocah" Chelsea menghajar Southampton dengan skor telak 4-1! Kini pasukan mas Lampard ini sudah berada di posisi lima klasemen, berselisih satu angka saja dibawah Arsenal.

Awal musim ini tampaknya menjadi puncak dari evolusi gegenpressing ala Klopp yang sudah dimulainya sejak 2015 lalu di Melwood (markas latihan Liverpool)

Gegenpressing bukan cuma gaya bermain sepakbola agresif saja. Gegenpressing pada akhirnya juga mempengaruhi mental bermain anak-anak Liverpool, membuat mereka ini selalu bisa menjadi pemenang dari setiap pertandingan yang mereka jalani, meskipun mereka itu tidak bermain sebaik yang mereka biasa lakukan.

Dari delapan laga di EPL plus dua laga di Liga Champion, penampilan Liverpool tidaklah istimewa. Apalagi mereka kemudian kehilangan kiper utama, Alisson Becker dalam waktu cukup lama.

Lini belakang terlihat rapuh karena pemain terbaik Eropa 2019, Virgil van Dijk tidak bermain sekokoh musim lalu.

Dari dua laga di Liga Champion, gawang Liverpool kebobolan sebanyak lima gol, dan dengan cara yang konyol pula. Sementara di EPL, gawang Adrian kebobolan sebanyak enam gol dari delapan pertandingan.

Selain lini belakang (bek tengah) lini tengah dan depan Liverpool masih tetap bermain seapik musim lalu. Kedua bek sayap (Robertson di kiri dan Arnold di kanan) tampak semakin matang, baik ketika menyerang maupun bertahan.

Arnold pun kini menjadi eksekutor utama ketika mengambil tendangan bebas. Tampaknya kedua bek sayap ini akan tetap menjadi tulang punggung Liverpool seperti musim lalu.

Setelah terpinggirkan sejak awal musim lalu, kini Fabinho menjelma menjadi sosok yang tak tergantikan pada lini tengah pertahanan Liverpool. Fabinho juga menjadi sosok kedua multi-tasking player Liverpool setelah James Milner, karena mereka ini bisa bermain baik pada beberapa posisi.

Hal ini sangat penting, karena Klopp kini memiliki fleksibilitas opsi bermain. Artinya ketika pertandingan sedang berlangsung, Klopp bisa merubah gaya bermain timnya di lapangan (lebih agresif atau defensif) tanpa harus mengganti pemain.

Lazimnya, seorang pelatih akan "mencocokkan" line-up pemainnya sesuai dengan prediksi line-up pemain lawan. Ketika Milner dan Fabinho bermain, pelatih lawan akan sedikit kesulitan untuk menentukan line-up pemainnya sendiri, karena Milner atau Fabinho bisa saja bermain sebagai bek kiri, kanan, tengah ataupun gelandang kiri, kanan, tengah.

Teranyar, Klopp juga mencoba merobah gelandang serang, Adam Lallana menjadi seorang deep lying playmaker, seperti peran Jorginho di Chelsea.

Fleksibilitas (baca : pragmatis) adalah pendekatan yang dipakai Klopp di EPL saat ini demi mengejar impian meraih gelar juara yang sudah 30 tahun diidam-idamkan para Kopites (fans Liverpool)

Namun fleksibilitas membawa konsekwensi juga bagi permainan anak-anak Liverpool di atas lapangan, terutama pada sepertiga akhir pertandingan.

Pada musim-musim lalu, di sepertiga akhir pertandingan, Liverpool sering "kehilangan nafas" karena memaksakan gegenpressing terus-menerus. Sedangkan pada awal musim ini mereka cenderung kehilangan konsentrasi, padahal fisiknya masih fit.

Contoh paling jelas terlihat pada laga di Liga Champion, ketika Liverpool dibekap Napoli 2-0. Kedua gol Napoli dicetak menit ke-80 akibat kesalahan Robertson yang menjatuhkan Dries Mertens di kotak penalti, dan blunder van Dijk di menit ke 90+2 yang memberikan bola secara cuma-cuma kepada Llorente.

Ketika berhadapan dengan Salzburg kemudian, van Dijk bahkan menjadi bahan olok-olokan para netizen, karena pemain terbaik Eropa itu terlalu gampang dikelabui para bocah Salzburg. Tiga gol bersarang di gawang Liverpool dengan cara yang cukup konyol.

Untunglah para pemain Liverpool tidak lupa melesakkan empat gol ke gawang Salzburg, sehingga Liverpool masih bisa menuai tiga angka dari pertandingan itu. Kalau tidak, pastilah "bonek" di kota Beatles itu akan murka, sehingga mereka akan menggantikan lagu "Hey Jude" dengan lagu "Lagi Syantik" dari Siti Badriah!

Rupanya karena selama ini terbiasa bermain dengan irama cepat dan "syantik," para pemain Liverpool ini tergagap dan tergugup ketika terjadi perobahan transisi dari bertahan ke posisi menyerang.

Firmino adalah tokoh sentral dalam perobahan transisi selama ini. Akan tetapi, kini tak selalu Firmino langsung memaksakan serangan ketika posisi Salah dan Mane tidak terlalu bagus.

Terkadang Firmino sedikit menahan bola, menurunkan tempo, dan bahkan mengoper bola kembali ke Fabinho di belakang. Padahal biasanya kedua bek sayap dan gelandang sudah pada posisi "on" untuk mendukung serangan.

Situasi beginilah yang membuat pertahanan Liverpool menjadi goyah ketika lawan kemudian melakukan pressing ketat terhadap Firmino maupun Fabinho. Apalagi para pemain belakang Liverpool suka melakukan backpass ketika ditekan lawan.

Musim ini, van Dijk sendiri sudah tiga kali tercyduk melakukan blunder backpass. Teranyar blundernya kepada Llorente akhirnya membuat gawang Adrian jebol untuk kedua kalinya di Naples.

Ketika Alisson bermain, hal ini tidak terlalu berpengaruh karena ia adalah seorang "kiper-libero" yang terbiasa memakai kakinya ketika bertahan, dan akrab juga dengan backpass dari para bek.

Akan tetapi Adrian terlahir sebagai seorang kiper konvensional. Ketika berhadapan melawan Southampton, Adrian juga berbuat blunder berbuah gol konyol pada menit ke-83.

***

Liverpool kini berevolusi menjadi klub "berkharisma, bermental juara," seperti halnya Juventus, Real Madrid atau Bayern Munchen di masa jayanya. Sekalipun bermain buruk, akan tetapi klub bermental juara selalu bisa menemukan solusi untuk memenangkan sebuah pertandingan, atau setidaknya bermain seri.

Ada perbedaan besar antara Manchester City dengan Liverpool, yang jelas akan mempengaruhi hasil akhir nanti. City adalah salah satu klub terbaik di dunia. Ketika mereka sedang on-fire, maka lawan akan menjadi bulan-bulanan mereka. Sebaliknya ketika off-fire, mereka sering terpeleset, terutama oleh kelengahan lini belakang.

Sampai musim lalu, Liverpool juga begitu. Namun musim ini Klopp melakukan pendekatan pragmatis terhadap gaya permainan anak asuhnya. Hanya Sadio Mane yang terlihat susah mengikuti gaya baru ini. Itu karena Mane memang adalah "Mustang liar yang selalu berahi ketika merumput." Mane terlihat energik dan selalu antusias ingin mencetak gol. Top scorer Liverpool ini bahkan tega memaki Salah ketika Salah tidak memberinya bola.

Liverpool cukup beruntung ketika dalam masa transisi ini, para pesaingnya itu tersandung. Namun ketika semuanya nanti berjalan normal, maka Liverpool akan kesulitan kalau mereka belum "in" juga dengan gaya pragmatis ini. Sebab Firmino memang bukan orang yang tepat memerankan tokoh sentral pada gaya baru ini.

Dalam konsep gegenpressing selama ini, Firmino menjadi tokoh sentral karena striker ini berfungsi pula menjadi bek di area lawan, ketika timnya kehilangan  bola.

Ketika Firmino kemudian berhasil menguasai bola tersebut, maka "seniman" ini kemudian akan melakukan serangan balik cepat, berkolaborasi dengan Salah dan Mane, atau mengeksekusinya sendiri langsung ke gawang lawan. Hampir selalu gol Firmino ini terlihat indah dan khas Latino, karena lebih menekankan placing bola ke area yang sulit dijangkau kiper.

Roberto Firmino, sosok sentral dalam permainan Liverpool, sumber: tommyharris.co.uk
Roberto Firmino, sosok sentral dalam permainan Liverpool, sumber: tommyharris.co.uk
Gaya baru Liverpool ini sebenarnya lebih cocok diarsiteki oleh seorang playmaker atau tepatnya deep lying playmaker seperti pada sosok Andrea Pirlo dulu di Juventus, atau sosok Jorginho di Chelsea.

Akan tetapi sepeninggal Steven Gerrard, Liverpool tidak lagi memiliki sosok playmaker. Selama ini cara kerja di Liverpool itu mirip KPK, dimana para komisioner (baca : pemain) bekerja secara kolektif kolateral.

Sosok Kapten juga bukanlah seorang Jenderal pengatur serangan, tetapi lebih kepada formal administrasi lapangan.

Itulah sebabnya sejak pemanasan musim panas kemarin hingga kini, Klopp mencoba Adam Lallana untuk memerankan peran deep lying playmaker ini. Sukseskah Lallana memainkan peranan ini?

Jawabannya gampang ditebak. Lallana belum terlihat sebagai pemain di skuat utama Liverpool!

***

Hidup itu seperti roda pedati, terkadang di atas dan pasti juga akan di bawah. Saat ini timnas Inggris dan juga klub-klub papan atas EPL (termasuk Liverpool) performanya sedang di bawah, walaupun untuk sementara.

Itulah yang melegakan Liverpool.

Ketika klub-klub papan atas EPL (terutama Manchester City) performanya nanti menanjak kembali, maka performa Liverpool pun akan membaik juga. Sebab saat ini performa mereka memang masih di bawah. Mereka cuma beruntung posisi mereka ada di atas...


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun