Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Nasib Demokrat yang Kian Terpinggirkan

13 Agustus 2019   21:39 Diperbarui: 13 Agustus 2019   21:45 952
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
SBY, sumber: tribunnews.com

Apa pun itu, saat ini Demokrat memang sedang dilanda krisis internal. Kepemimpinan SBY kini sedang digoyang dari dalam, oleh mereka yang mengatasnamakan FPDD (Forum Pendiri dan Deklarator Demokrat)

Adalah fakta bahwa sejak SBY mengambil alih tampuk kepemimpinan Demokrat dari tangan Anas Urbaningrum lewat KLB (Kongres Luar Biasa) pada akhir Maret 2013 lalu, pamor Demokrat semakin turun.

Ditangan SBY, perolehan suara Demokrat merosot tajam menjadi 10,19 % pada Pemilu 2014 dan 7,77% pada Pemilu 2019. Padahal sebelumnya Demokrat menjadi jawara dengan mendulang 20,40% suara pada tahun 2009 lalu.

Merosotnya suara Demokrat ini terkait dengan banyaknya kasus yang menimpa kader Demokrat di pemerintahan pada saat kepemimpinan SBY jilid II kemarin.

Ketika mengikuti Pemilu kali pertama pada tahun 2004 lalu, Demokrat sebagai partai baru kala itu mampu meraup suara sebesar 7,45%  Suara Demokrat ini sebenarnya tak beda jauh dengan perolehan suara sebesar 7,77% pada pemilu 2019 kemarin. Sepertinya angka ini mencerminkan proporsi kekuatan Demokrat yang sebenarnya dalam kue politik nasional.

Sebenarnya kurang tepat juga mengatakan faktor kepemimpinan SBY membuat perolehan suara Demokrat menjadi turun. Catat, walaupun ketika itu tidak menjadi ketua partai, tetapi ketika suara Demokrat mencapai angka 10,19% (2014) dan 20,40% (2009) SBY saat itu menjabat presiden selama dua periode. Jadi jelas faktor SBY sebagai presiden berperan besar dalam mendongkrak suara Demokrat. Tanpa sosok dan dukungan dana dari SBY, Demokrat pasti akan hancur seperti nasib Hanura.

***

Dari sisi kepentingan politik jangka pendek, tentulah ada alasan kuat mengapa Megawati tidak mengundang petinggi Demokrat untuk hadir pada Kongres V PDI-P yang berlangsung di Grand Inna Beach, Denpasar, Bali, kemarin itu.

Perubahan "arah angin" politik yang begitu cepat tentu menjadi penyebab utamanya. "Diplomasi lebaran" bersama AHY dan Ibas kemarin itu adalah rencana cadangan Megawati sekiranya diplomasi nasi goreng menemui jalan buntu. Tentu tidak ada makan siang yang gratis. Megawati tentu sudah berhitung untung-rugi  dengan opsi dari kedua parpol ini.

Fokus Prabowo adalah Pilpres dan ia tidak terlalu menuntut hal-hal lainnya. Selain itu, pada Pilpres 2009 lalu Megawati berpasangan dengan Prabowo. Terlepas dari perbedaan kepentingan politik, keduanya setidaknya sudah saling mengenal dekat akan karakter masing-masing. Artinya mereka lebih mudah untuk menemukan solusi atas setiap perbedaan yang ada.

Sebaliknya dengan pepo yang terkesan baperan dan cerewet dengan perintilan-perintilan kecil, dan tentunya juga soal jatah menteri. Selain itu pepo juga terkenal dengan manuver dadakannya yang bisa membahayakan kepentingan koalisi pemerintah nantinya. Soal ini, tentu saja Megawati sudah berpengalaman karena sudah mengalaminya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun