Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Terima Kasih Hok Buat "Mulut Comberan" Lo...

19 April 2017   18:48 Diperbarui: 19 April 2017   19:02 2277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto : Megapolitan - Kompas.com

 Seandainya Ahok bisa menjaga “mulutnya” tentulah dia tidak akan menderita sehebat ini. Dimaki, dihina, dihadang bahkan sampai diperkarakan ke pengadilan dengan tuduhan sebagai penista agama. Seandainya bibir Ahok bisa semanis bibir Anies dan gestur tubuhnya selembut gaya “OKE-OCE” Sandi, tentulah musibah dan malapetaka akan menjauh darinya....

Tapi, sudahlah Hok, nasi sudah menjadi lontong, sementara Cak Lontong tidak akan sudi dipanggil sebagai Cak Nasi!  

Menjelang Pilkada kemarin, tekanan terhadap Ahok semakin menggila dari segala arah dan segala cara. Akibatnya elektabilitas pasangan Ahok-Djarot ini turun drastis di mata masyarakat. Memang survey yang dilakukan oleh beberapa lembaga survey yang diragukan objektifitasnya tersebut tidak terlalu dihiraukan oleh Timses Ahok-Djarot.

Banyak warga sepakat, seandainya Ahok bisa menjaga sikap, dan tidak tersandung dengan kasus penistaan agama yang terjadi di kepulauan Seribu tersebut, pastilah pasangan Ahok-Djarot akan menang mudah dalam satu putaran Pilkada saja. Apalagi tingkat kepuasan warga terhadap prestasi kerja Ahok-Djarot mencapai 75%. Lalu Ahok pun menyesal. Warga yang sayang Ahok juga menyesal. Tapi penyesalan selalu datang terlambat...

Bagi saya pribadi, saya sama sekali tidak menyesal, bahkan sangat amat berterima kasih kepada Ahok. Saya bukan Ahokers. Saya cuma pengagum keberanian, kebaikan dan kejujuran dari seorang Ahok, dan terutama kepada integritas dirinya! Di negeri ini sangat banyak orang pintar, cerdas maupun yang baik, tetapi sangat sedikit orang pemberani! Satu hal lagi, di negeri ini sangat banyak orang sirik penggemar “SMS” Senang Melihat orang Susah dan Susah Melihat orang Senang...

Dulu para founding fathers yang pemberani mampu memerdekakan negeri ini, bukan saja dari tangan penjajah asing, tetapi juga dari tangan para penjajah lokal. Musuh terbesar kita itu bukanlah orang asing, karena mereka itu gampang dikenali dari kulit dan bahasanya. Musuh terbesar kita itu selalunya adalah “musuh dalam selimut,” yang kulit, bahasa dan kentutnya sama dengan kita!!!

Musuh lokal itu selalu mencecoki warga dengan segala macam kemunafikan, amarah, dendam, rasa takut, kebencian, pemisahan gender, ras, agama dan golongan demi keuntungan pribadi dan kelompoknya. Penjajahan terselubung itu lalu dikemas rapi dalam bungkus “pribumi, ibadah, nasionalisme” atau nama-nama lainnya demi untuk menancapkan cengkraman kekuasaan sepenuhnya dari “penjajah lokal” atas “inlander-inlander pribumi” tersebut!

Kini coba lihat. Apa bedanya jaman sekarang dengan jaman kumpeni dulu. Dulu para meneer Belanda sering menyewa centeng atau jawara untuk menggebuk warga atau lawan politik yang tidak disukainya. Centeng atau jawara itu bukan berkulit putih atau berbahasa Belanda, tetapi sama dengan warga yang digebuknya. Kini coba lihat setelah kita lebih dari 70 tahun merdeka. Ada warga yang bahasa, agama dan warna kulitnya sama dengan Djarot, tega mengusirnya dari masjid ketika beribadah sholat jumat.

Ahok dan Djarot sering dihadang, ditolak dan diuber-uber ketika akan berkampanye secara resmi di rumahnya sendiri, dan oleh warganya sendiri pula! Ahok dan Djarot bukan berkampanye di Maldives atau di Monaco, tetapi di Cilincing, Rawa Belong dan Ciracas yang ongkosnya cuma tiga ribu lima ratus perak kalau naik Busway! Apakah ini bukan penjajahan namanya?

Artinya kita ini memang belum merdeka! Merdeka atas hak dan kewajiban kita sebagai seorang warga negara. Merdeka itu bukan hanya tahu dan bebas bertindak atas segala hak dan kewajiban, tetapi juga harus tahu menghargai dan menghormati hak dan kebebasan warga lain dalam keberadaannya sebagai seorang warga negara Indonesia.

Apa dasarnya seorang warga negara yang celana panjangnya “lebih pendek” dari celana panjang orang lain untuk merasa lebih berhak dari warga negara yang lain? Apa dasarnya seorang lelaki  yang memakai daster lebih merasa seksi daripada lelaki yang memakai jins sobek. Kini banyak orang yang lebih mementingkankan bungkus daripada isi.

Kini warga dijajah dengan segala macam “bungkus” kemunafikan untuk menutupi segala kebodohan. “Taring tajam tersembunyi dibalik bibir manis. Air liur keserakahan tersembunyi dibalik bahasa santun. Kuku cengkraman tersembunyi dibalik daster putih bersih...” Kini warga digiring kembali ke jaman kolonial. Tetapi kini terasa tragis. Dulu para inlander buta huruf itu “tidak makan sekolahan,” sehingga gampang digiring untuk melakukan kebodohan. Kini inlander “melek aksara” itu malah senang diajak “bertamasya” ke Jakarta....

Puluhan tahun yang lalu, guru-guru dari negeri ini berangkat ke negeri jiran untuk mendidik murid-murid jiran tersebut agar menjadi pintar. Sebagian dari mereka kemudian menetap dan menjadi warga negeri tersebut. Puluhan tahun kemudian murid-murid dari negeri ini berangkat ke negeri jiran tersebut untuk menuntut ilmu, karena didalam negeri mereka diajarkan untuk tawuran, menghajar junior atas nama disiplin, atau berdemo anarkis sambil membakar ban bekas....

Dulu pengungsi Vietnam ditampung pemerintah di pulau Galang dekat Batam. Puluhan tahun kemudian para pebisnis negeri ini, yang tidak tahan lagi dengan segala macam “praktek penjajahan” didalam negeri, akhirnya mengungsikan pabrik-pabrik mereka ke Kawasan Industri Vietnam yang ramah terhadap para investor asing.

Lalu kita bertanya, apa yang terjadi kepada negeriku tercinta ini? Orang lalu berkata, di negeri ini banyak pemimpin maling, koruptor, makelar dan bandit. Lalu berdirilah KPK. Mungkin sebentar lagi kualitas para pemimpin akan semakin baik. Tetapi melihat kepada apa yang terjadi kepada nasib Ahok akhir-akhir ini, semakin membuka mata saya... ada sesuatu hal besar yang akan selalu membuat rakyat negeri ini tidak bisa move-on sebagai rakyat yang merdeka, sama seperti tetangga-tetangganya yang sudah lebih dulu maju.  

Ketika melihat orang memboikot “sari roti” dan menginjak-injak “roti malang” tersebut, kita lalu sadar. Walaupun sudah puluhan tahun merdeka, ternyata kita masih hidup di jaman kegelapan yang membutakan, bukan saja kepada mata penglihatan, tetapi juga hati nurani dan harga diri sebagai seorang manusia ciptaan Tuhan.

Terima kasih koh Ahok atas “mulut comberannya” sehingga saya dapat melihat realita yang terjadi para rakyat di negeri ini. “Mulut comberan Ahok” ini mampu menjadi screen yang bisa memisahkan rakyat yang merdeka dengan rakyat yang masih hidup dalam cengkraman penjajahan, bukan oleh asing, tetapi oleh bangsanya sendiri!

Pembangunan infrastruktur, kebijakan ekonomi, pendidikan formal, reformasi perizinan atau tax amnesty tidak akan cukup untuk membuat negeri ini menjadi maju, sejajar dengan negeri-negeri lain. Kebutuhan utama kita adalah kemerdekaan, dimana setiap rakyat bebas dari rasa takut, intimidasi atau tekanan dari siapapun atas hak dan kewajibannya sebagai seorang warga negara, dan sekaligus juga mampu menghargai hak dan kebebasan setiap warga yang lain dalam keberadaannya sebagi seorang warga negara Indonesia. Untuk mewujudkannya adalah tanggung jawab kita bersama juga.

Apa pun itu, terima kasih banyak untuk Ahok-Djarot yang telah bekerja keras selama ini untuk memerdekakan rakyat Jakarta. Walau bagaimanapun Ahok-Djarot telah berhasil membuat suatu benchmark, standar pelayanan yang akan dipakai warga untuk menilai tingkat pelayanan dari siapapun pemimpin-pemimpin Jakarta kelak.

Selamat juga saya ucapkan kepada pasangan Anies-Sandiaga atas keberhasilannya menjadi gubernur yang baru. Semoga semua hal baik yang telah dicapai oleh Ahok-Djarot sebelumnya dapat ditingkatkan atau setidaknya dipertahankan oleh pasangan Anies-Sandiaga. “Pesta telah usai” jadi sebaiknya segala hoax maupun perselisihan di sosmed segera diakhiri juga.

Salam hangat,

Reinhard Freddy

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun