Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Legend of The Flying Butterfly, Muhammad Ali

7 Juni 2016   17:40 Diperbarui: 7 Juni 2016   17:52 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto : www.pinterest.com

Dunia tinju berduka. Petinju legendaris “bermulut besar” itu telah pergi. Dia telah mengahiri pertarungan tinju dengan penyakit Parkinson yang menderanya itu. Tidak ada petinju yang ditakutinya di dunia ini. Tyson pun tidak, bahkan ketika dimasa jayanya. Kehidupan adalah fana, Dia pun ahirnya pergi meninggalkan nama besarnya.

Semua mengenal Ali, sehingga tidak perlu menceritakan biografinya disini. Saya ingin menceritakan Ali hanya semata dari kacamata saya sendiri, karena saya tidak pernah menyukainya! Ini jelas subjektif, yang berbeda-beda bagi tiap individu. Akan tetapi, saya tidak pernah kehilangan gairah untuk menceritakan kehebatannya, karena sebagai manusia, Ali memang pantas untuk dikagumi.

Ali sebenarnya termasuk petinju yang memikat dan lincah untuk ukuran kelas berat. Walaupun tidak selincah Evander Holyfield atau Michael Spinks, Jab-jabnya rajin menyengat lawan plus pergerakan kakinya yang indah bak penari salsa. Itulah sebabnya dulu dia disebut The Flying Butterfly. “Float like a butterfly and Sting like a bee” (Melayang seperti Kupu Kupu, Menyengat seperti Lebah)

Seperti kodrat petinju lincah, mereka tidak dibekali bobot “pukulan gada” ala Tyson atau Foreman. Itulah sebabnya mereka harus “keep on moving” dengan jab dan kaki mereka. Apalagi bobot pukulan petinju kelas berat kalau terkena dengan telak, pastilah “alamat cilaka dikandung badan!” Itulah sebabnya pertandingan Ali selalu memikat, laksana Matador menghadapi banteng ketaton!

Selain gaya “Float like a butterfly and Sting like a bee” Ali juga mempunyai gaya “Trenggiling” jika menghadapi “petinju-petinju berat” seperti yang ditunjukkannya ketika dulu mengalahkan George Foreman di Zaire. Pukulan Foreman sangat keras. Ali bertahan seperti sansak disudut ring dengan sesekali melepaskan jab-jabnya. Ahirnya dia berhasil mengalahkan Foreman di ronde kedelapan.

Dia memang berhasil menjadi juara dunia dengan mengalahkan Foreman. Akan tetapi dunia pertinjuan mafhum, Manusia bukanlah sansak, bahkan kepala banteng juga bukan!

Konon katanya Foreman dulu suka memukuli kepala Bison! Lama kemudian Ali mengakuinya. Pukulan-pukulan Foreman itulah yang membuatnya menderita disepanjang hidupnya. Syaraf dikepalanya banyak yang rusak dan para dokter tak mampu memperbaikinya. Tangannya tremor, bergetar terus dan sangat sukar untuk diam. Finally...No pain no gain...

***

Ali adalah petinju hebat dan mempunyai nilai jual yang tinggi. Era Ali adalah Era Don King! Era dimulainya “Sirkus pertunjukan Tinju” Kalau dulu pertandingan tinju dilakukan di gudang, kini pertandingan tinju dilaksanakan di Las vegas. Kalau dulu penontonnya adalah Pekerja kasar yang bertaruh, kini para penonton adalah selebriti terkenal, termasuk ibu-ibu!

Dulu, Peminat tinju yang tidak kebagian tempat, bisa mendengar “Laporan pendengaran telinga” lewat komentator radio lawas. Kini menonton tinju tetap bisa “live” lewat program “pay per view” Ahirnya Tinju kelas berat kehilangan “harga dirinya”

Dari dulu kelas berat memang sangat tidak memikat. Pernah menonton ronde kesepuluh pertandingan tinju kelas berat? Kedua petinju seperti “menggosip!” sesekali memukul lalu berpelukan! Tinju sejati memang adanya hanya di kelas welter atau menengah saja!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun