Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Anak yang Hilang

5 Juni 2016   21:38 Diperbarui: 5 Juni 2016   21:46 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto : www.majalahlaras.com

Jantungku berdetak ketika kapal kayu yang kutumpangi akan merapat kedermaga. Sejenak aku melihat pohon-pohon nyiur melambai ditiup angin sepoi-sepoi yang seperti akan menyapaku, sama seperti ketika aku masih kecil dahulu, kala menatap mereka. Lambaian nyiur genit itu membuatku lega, i’m coming home...

Dua puluh lima tahun yang lalu, aku meninggalkan desa ini, ketika itu aku baru saja tamat SMP. Aku kemudian menyelesaikan pendidikan SMA di Jakarta. Setelah itu, dua tahun aku berkuliah dan mengambil kursus, aku kemudian memulai petualangan hidupku berkelana keujung dunia, dimulai dengan bekerja sebagai anak buah kapal pesiar.

Dua puluh tahun berkelana dibelahan dunia lain, kutempuh untuk mencari sesuatu yang selalu mengahantuiku sejak kecil. Ketika itu, pada malam-malam hari yang cerah, aku berbaring dipinggir pantai menatap ribuan bintang yang bertebaran dilangit, disaksikan nyiur yang melambai itu. Mereka seakan mengajakku untuk menghampiri mereka, dan aku memutuskan akan menghampiri mereka kelak setelah aku dewasa!

Aku anak tunggal, yatim piatu, dibesarkan oleh kakekku. Dimalam hari, aku sering berada di teras gereja dekat rumah, sambil membaca atlas. Lampu teras gereja itu cukup terang, karena aliran listrik belum ada dirumah. Aku suka disitu, karena aku bisa membaca sambil membayangkan tempat-tempat yang aku baca, tanpa diganggu orang lain!

***

Dua puluh tahun berada dibelahan dunia lain, aku kemudian tersadar, aku belum menemukan bintang itu. Pada suatu musim panas, aku terjatuh dipantai dengan sedikit mabuk. Lalu aku menatap ribuan bintang yang bertebaran dilangit, yang memanggilku dari arah tempat aku dulu menatap mereka waktu aku masih kecil...

Kini aku menatap desa kelahiranku. Semuanya sudah sangat jauh berbeda! Rumah-rumah gedung dengan antena parabola, listrik 24 jam dan warnet dimana-mana! Raungan sepeda-motor yang selalu memekakkan telinga dan juga mini-market yang bertebaran dimana-mana. Fasilitas disini tak berbeda dengan dibelahan dunia lain, dan lebih murah!

Pilkada untuk memilih bupati itu, menimbulkan hiruk pikuk yang mengkotak-kotakkan penduduk desa ini! Penduduk dikelompokkan menurut jagoannya, dan mereka saling mengejek satu sama lain, terkadang menimbulkan perkelahian kecil diantara mereka. Aku merasa heran, bukankah mereka dulu teman sepermainan diwaktu kecil?

Kini desa kecilku dulu sudah berubah menjadi ibukota kecamatan. Penduduknya sudah jauh lebih banyak, tetapi aku sangat kesepian karena tidak mempunyai seorang temanpun untuk sekedar berbagi cerita atau bersenda gurau. Anak-anak tidak lagi berenang kelaut mencari kepah atau teripang, kini anak-anak main game diwarnet atau main gadget!

Anak muda tidak lagi bernyanyi dan menari bersama-sama dipinggir pantai. Mereka lebih suka pergi berduaan, mencari tempat sepi, memadu cinta dipinggir pantai. Sebagian dari mereka pergi kepantai untuk berpesta miras dan narkoba!

Ibu-ibu lebih suka nonton tv yang siarannya 24 jam itu, atau pergi ke arisan. Pergi ke arisan membuat mereka lebih bergaya dengan baju, sepatu atau tas kreditan itu. Kini perhiasan juga bisa dikredit! Bapak-bapak lebih suka membahas politik, pilkada dan proyek bansos dari pemerintah, atau membuat LSM yang ujung-ujungnya untuk mengemis atau menodong bupati!

Reformasi, ekspor hasil pertanian, perkebunan dan hasil laut, Perhatian Pemerintah akan daerah Timur dan tingginya nilai dollar merobah desa kecil yang tak berlistrik itu menjadi sebuah kota baru yang gegap gempita, tetapi juga merobah mental dan gaya hidup desa kecil tersebut!

Dulu keramaian atau pesta hanya ada pada saat Natal atau Hari Kemerdekaan, akan tetapi kini hampir setiap saat ada pesta. Pesta ulang tahun, perkawinan, selamatan. Tiada hari tanpa pesta dan mabuk! Kini desa ini hidup dengan Hedonisme, Egoisme dan mengejar kesenangan duniawi semata.

Reformasi, otonomi dan kebebasan itu malah “menjajah” penduduk lugu itu dengan imperialisme Hedonis oleh “Paham bangsa sendiri”. Dulu penduduk desa itu hidup rukun, agamis, ceria, sopan dan “merdeka” dari penjajahan imperialisme kebebasan, walaupun hidup tanpa aliran listrik.

Dulu fisikku menghilang dari tempat kelahiranku ini. Kini hatiku juga menghilang dari tempat ini. Ini bukan tempatku! Tempatku, berada dimana hatiku merasa nyaman dan homey... Aku akan mencarinya. mungkin dilangit sana, tempat dimana bintang-bintang itu bertebaran, tapi aku pasti akan menemukannya dan akan merindukannya. karena aku sudah tahu tempatku bukan disini.

Reinhard Freddy

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun