Mari kita mulai dari mimpi yang paling sederhana: punya rumah sendiri. Bukan rumah mewah dua lantai dengan taman bunga dan garasi yang cukup untuk dua mobil, tapi rumah yang cukup untuk berteduh, berlindung, dan membangun masa depan. Rumah yang bisa kita sebut "rumah kita". Dan bagi banyak orang di usia produktif, rumah subsidi sering jadi pintu masuk pertama menuju mimpi itu.
Namun, rumah subsidi bukan sekadar perkara harga murah dan cicilan ringan. Ia adalah perpaduan antara kebutuhan dan harapan, antara realistis dan idealis. Dan di situlah letak tarik-ulurnya.
Harga Terjangkau, Tapi Sampai Seberapa Terjangkau?
Satu hal yang pasti ditawarkan rumah subsidi adalah harga yang lebih "manusiawi". Dengan rentang Rp150--200 jutaan, rumah subsidi memang ditujukan untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Bahkan, beberapa pengembang dan bank menawarkan DP rendah atau bahkan nol rupiah, serta cicilan yang bisa disesuaikan dengan gaji UMR.
Tapi pertanyaannya: apakah cukup hanya murah?
Murah itu perlu, tapi bukan segalanya. Kalau harga murah didapat dengan mengorbankan kualitas bangunan atau lokasi yang jauh dari akses publik, maka yang terjadi justru beban baru. Murah di awal, mahal di belakang---baik secara finansial maupun emosional.
Ukuran dan Kualitas: Rumah atau Kotak Sepatu?
Banyak rumah subsidi dibangun di atas lahan seluas 60 meter persegi, dengan bangunan tipe 30. Artinya: dua kamar tidur, satu kamar mandi, dan ruang tamu yang juga berfungsi sebagai ruang keluarga, ruang makan, bahkan ruang kerja (kalau ada). Kalau dihuni oleh keluarga kecil, mungkin cukup. Tapi kalau sudah ada dua anak dan mertua ikut tinggal, rumah bisa berubah jadi Tetris level expert.
Belum lagi soal kualitas bangunan. Banyak cerita beredar tentang dinding yang retak sebelum setahun, atap bocor, atau saluran air yang mampet padahal rumah belum ditempati penuh. Hal-hal ini sering dianggap "bonus" dari rumah murah. Tapi pertanyaannya: apakah rumah subsidi memang harus selalu identik dengan kualitas seadanya?
Idealnya, rumah subsidi harus tetap layak huni. Ada SNI-nya. Ada standar minimum yang dijamin oleh pemerintah dan diawasi oleh pengembang. Karena yang sedang dibeli bukan hanya tanah dan bangunan, tapi juga keamanan, kenyamanan, dan kesehatan penghuni.