Mohon tunggu...
Choirul Anam
Choirul Anam Mohon Tunggu... Penulis tinggal di Bojonegoro

Pekerja Sosial Masyarakat, Pegiat Literasi

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Ormas dan Konflik Tambang: Antara Aspirasi, Kepentingan dan Jeritan Bumi

13 Juni 2025   07:00 Diperbarui: 12 Juni 2025   23:16 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Konflik Tambang | www.context.id

Di sebuah desa yang dulu damai, suara jangkrik bersahutan di malam hari, dan embun pagi turun di atas hamparan sawah. Tapi kini, suara jangkrik kalah oleh deru truk pengangkut batu. Jalan desa yang dulu tenang kini bergemuruh debu. Konflik tambang telah datang, dan di tengah keributan itu, hadir pula sosok yang makin sering kita dengar: organisasi kemasyarakatan, atau ormas.

Ormas dalam banyak kasus tampil sebagai pihak yang lantang bersuara. Ada yang berdiri membela warga yang tanahnya retak dan air sumurnya menghilang. Ada pula yang tampak dekat dengan perusahaan tambang, menyuarakan "pembangunan" dan "investasi." Pertanyaannya, mengapa ormas bisa berada di dua kutub konflik yang bertolak belakang? Apakah mereka perwakilan kepentingan rakyat, atau justru perpanjangan tangan kepentingan lain?

Antara Fungsi Sosial dan Fungsi Politik Ormas

Secara yuridis, ormas adalah wadah berkumpul warga negara untuk menyalurkan aspirasi dan partisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan menyebutkan bahwa ormas harus menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, kesatuan, dan keadilan.

Namun dalam praktiknya, ormas tidak melulu berada dalam posisi netral. Mereka bisa menjelma sebagai kekuatan sosial yang progresif---membantu warga melawan ketidakadilan. Tapi tak jarang pula, ormas menjadi aktor politik yang memihak pada kekuatan modal. Di sinilah kompleksitas muncul dalam konteks konflik tambang.

Konflik Tambang: Antara Kekayaan Alam dan Jeritan Warga

Pertambangan, terutama tambang mineral dan batuan, sering kali menjadi medan tarik-menarik antara pembangunan dan keberlanjutan lingkungan. Bagi pemerintah daerah, tambang berarti pendapatan asli daerah (PAD). Bagi perusahaan, tambang adalah profit. Tapi bagi warga desa, tambang bisa berarti hilangnya tanah garapan, rusaknya sumber air, dan hancurnya ruang hidup.

Lalu muncullah ormas.

Sebagian ormas hadir sebagai pendamping warga. Mereka mengadvokasi hak atas lingkungan hidup yang sehat, mendampingi warga membuat aduan, bahkan ikut melakukan kajian dampak lingkungan alternatif. Misalnya, dalam kasus tambang di Kendeng, Jawa Tengah, jaringan ormas berbasis agama dan lingkungan hadir membela petani perempuan yang menolak tambang semen. Mereka menyuarakan bahwa bumi bukan hanya sumber daya, tapi ibu yang memberi hidup.

Namun di sisi lain, tak sedikit ormas yang justru berdiri di barisan tambang. Mereka mendukung izin eksplorasi dan mengklaim bahwa warga mendukung penuh kehadiran investor. Kadang, dukungan ini bukan semata-mata karena idealisme. Ada indikasi hubungan pragmatis: proyek tambang menyerap "tenaga keamanan" dari ormas lokal, menjadikan mereka tameng sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun