Setiap tahun, Idul Adha hadir bukan hanya dengan aroma daging kambing dan sapi yang meruap dari tungku-tungku rumah, tetapi juga membawa pesan spiritual yang mendalam. Lebih dari sekadar perayaan penyembelihan hewan kurban, Idul Adha adalah momentum perenungan tentang ketulusan beribadah, keikhlasan berkorban, dan kepedulian sosial. Ia adalah momen ketika ibadah personal dan sosial saling bertaut, menjelma menjadi kesalehan yang konkret dan terasa manfaatnya bagi sesama.
Mari kita mulai dari kisah klasik, tapi tak pernah usang: Nabi Ibrahim AS dan putranya, Ismail AS. Dalam Al-Qur'an (Surah As-Saffat: 102--107), dikisahkan bagaimana Ibrahim bersedia mengorbankan anaknya demi memenuhi perintah Allah. Sebuah puncak dari kepatuhan mutlak, ikhlas tanpa syarat. Namun, pengorbanan itu bukanlah akhir dari cerita. Allah mengganti Ismail dengan seekor domba, dan dari situlah lahir tradisi kurban yang kita kenal hari ini.
Tapi mari kita jujur. Saat ini, seberapa sering kita hanya berhenti pada simbol: menyembelih hewan, membagikan daging, lalu selesai? Seolah-olah Idul Adha adalah urusan tukang jagal, bukan urusan jiwa. Padahal, esensi Idul Adha justru mengajak kita untuk melampaui ritus menuju substansi---dari ibadah pribadi menuju ibadah sosial.
Ibadah Pribadi: Kesalehan yang Hening
Secara pribadi, Idul Adha menuntut kita untuk menumbuhkan dua nilai utama: tauhid dan tadhiyah (pengorbanan). Tauhid, karena kurban lahir dari ketaatan pada Allah semata. Tadhiyah, karena berkurban adalah latihan meninggalkan ego dan kepentingan pribadi demi sesuatu yang lebih besar.
Ibadah haji---yang bertepatan waktunya dengan Idul Adha---juga menyimbolkan pengembaraan spiritual manusia: melepaskan atribut duniawi, mengganti pakaian indah dengan kain ihram yang sama dan sederhana. Ini ibadah personal yang sangat intens, menuntut perenungan dan perbaikan diri.
Namun jika semua itu hanya berhenti pada sisi personal, maka Idul Adha akan menjadi seremonial yang eksklusif. Padahal, inti ajaran Islam adalah rahmatan lil 'alamin---rahmat bagi seluruh alam.
Ibadah Sosial: Kesalehan yang Membumi
Di sinilah nilai sosial Idul Adha menjadi terang. Ibadah kurban tidak hanya ditujukan kepada Allah, tapi juga kepada sesama. Daging yang disembelih bukan untuk dibakar sendiri di halaman rumah, melainkan dibagikan kepada mereka yang kekurangan. Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur'an (Al-Hajj: 28 dan 36), bagian kurban adalah untuk orang-orang miskin dan yang membutuhkan.
Bayangkan, berapa banyak keluarga yang mungkin hanya setahun sekali merasakan nikmatnya daging, dan itu pun karena Idul Adha. Maka, kurban bukan sekadar menyembelih, tapi menyambung solidaritas sosial. Ini adalah bentuk nyata dari ekonomi berbagi yang menyentuh langsung kebutuhan paling dasar manusia.