Suatu pagi, saya duduk di bawah pohon mangga tua di belakang rumah sambil menemani anak saya yang sedang belajar daring. Ia membaca pelajaran IPA tentang daur air dan pelajaran agama tentang amanah.
Di sela-sela itu, ia bertanya, "Pak, kalau bumi rusak, berarti kita enggak amanah ya?" Saya tertegun.
Ternyata pohon mangga itu lebih banyak bicara ketimbang layar laptop: ia mengajarkan bagaimana bumi dan langit terhubung lewat tetes hujan, akar, dan doa-doa yang tak bersuara.
Pertanyaan anak itu membawa saya merenung lebih dalam: di mana posisi lingkungan hidup---atau lebih luas lagi, alam semesta---dalam kurikulum pendidikan kita? Dan apakah mungkin menghadirkan kesadaran ekologis yang sekaligus spiritual?
Di sinilah konsep ekoteologi layak kita bahas, dan bahkan, kita perjuangkan masuk ke dalam kurikulum pendidikan.
Apa itu Ekoteologi?
Ekoteologi bukan sekadar pernik intelektual antara "eko" (ekologi) dan "teologi" (ilmu ketuhanan). Ini adalah sebuah cara pandang yang menempatkan manusia sebagai bagian dari alam, bukan penguasa tunggal atasnya.
Dalam banyak tradisi keagamaan, alam adalah ciptaan Tuhan, dan manusia diberi tanggung jawab bukan untuk mengeksploitasi, melainkan merawatnya.Â
Dalam Islam, konsep khalifah---pemimpin di bumi---datang dengan tanggung jawab moral dan spiritual terhadap lingkungan.
Dalam tradisi Kristen, dikenal konsep stewardship, yaitu pengelolaan bumi sebagai bentuk pengabdian pada Sang Pencipta.