Setiap kali musim haji tiba, media sosial kita penuh dengan potret Ka'bah, padang Arafah, dan jamaah berseragam batik. Ada rasa haru, ada pula yang menyelipkan rindu. Tapi di antara semua euforia itu, terselip satu pertanyaan sunyi yang barangkali pernah mampir ke hati banyak orang: "Bagaimana kalau aku tak pernah berkesempatan ke sana? Bisakah aku tetap menjadi haji, meski tanpa haji?"
Pertanyaan ini mungkin terdengar seperti pelarian, tapi sebetulnya ia mengandung kedalaman spiritual yang tak kalah penting dari urusan visa dan manasik. Karena sejatinya, haji bukan hanya soal tempat dan waktu, tapi juga tentang arah hidup dan kesiapan hati.
Ziarah ke Dalam Diri
Mari kita buka dengan logika sederhana. Ibadah haji adalah salah satu rukun Islam yang dilakukan jika mampu. Artinya, tidak semua orang diwajibkan berhaji secara fisik. Tapi apakah itu berarti mereka yang tidak berhaji kehilangan peluang untuk dekat dengan Allah? Tentu tidak.
Para ulama sufi punya cara pandang yang unik. Mereka percaya bahwa haji, pada level batin, adalah perjalanan spiritual menziarahi "Ka'bah" yang ada dalam diri: hati yang bersih, jiwa yang pasrah, dan perilaku yang lurus. Maka, berhaji sebelum haji adalah tentang melatih diri agar pantas dipanggil, bukan hanya secara logistik, tapi juga secara etika dan akhlak.
Latihan Pra-Haji: Jalan Sunyi Menuju Derajat Mabrur
Ada beberapa jalan "pra-haji" yang bisa kita tempuh. Jalan ini tak memerlukan koper besar, tapi butuh hati yang lapang.
1. Menahan Diri dari Keburukan
Salah satu larangan utama dalam ihram adalah tak boleh bertengkar, berkata kotor, atau menyakiti makhluk lain. Kalau dalam hidup sehari-hari kita bisa melatih itu --- menahan komentar pedas di grup WA, menolak membalas hinaan dengan cacian, atau memilih diam saat emosi --- sesungguhnya kita sedang belajar ihram batin.
2. Membersihkan Hati dan Niat