Pernahkah kita berada di satu titik hidup yang terasa datar-datar saja? Bangun pagi, ngopi, kerja, pulang, tidur, lalu ulangi. Tidak ada rasa berbunga-bunga. Tidak ada getar. Bahkan kabar gembira sekalipun hanya lewat seperti suara motor knalpot racing: bising sebentar lalu hilang. Kita bertanya-tanya, apakah ini yang disebut hampa? Apakah kita sedang tidak bahagia? Atau... jangan-jangan kita sedang belajar tentang hidup dari sudut yang lebih dalam?
Pada titik inilah, pelajaran dari Ki Ageng Suryomentaram---seorang bangsawan Keraton Yogyakarta yang memilih menjadi "orang biasa"---menjadi relevan. Beliau bukan hanya pangeran, tapi juga filsuf Jawa yang dengan rendah hati membicarakan soal rasa, hidup, dan kebahagiaan dari ruang-ruang paling sunyi dalam diri manusia.
Kebahagiaan Tidak Perlu Dicari
Ki Ageng Suryomentaram pernah bilang: "Kebahagiaan itu bukan dicari, tapi disadari." Coba renungkan. Betapa banyak orang yang mengejar kebahagiaan lewat karier, pasangan, pencapaian, hingga like dan follower. Namun begitu semua itu tercapai, kadang justru muncul rasa kosong. Lho, katanya bahagia? Kok malah datar?
Menurut Ki Ageng, kita sering salah paham. Kita kira kebahagiaan itu efek dari sesuatu di luar diri. Padahal, rasa bahagia adalah perkara bagaimana kita menerima dan memahami rasa itu sendiri. Ia menyebutnya dengan istilah "ilmu kasunyatan"---ilmu tentang kenyataan yang dirasakan, bukan hanya dipikirkan. Jadi, ketika hidup terasa tidak menggetarkan, mungkin bukan karena hidup kita membosankan. Tapi karena kita belum cukup sadar akan apa yang sedang kita rasa.
Belajar Mengenali Rasa, Bukan Membunuhnya
Dalam filsafat hidupnya, Ki Ageng mengajak kita untuk ngerti-ngerteni---memahami dan memaklumi rasa. Kalau hari ini kita merasa kosong, ya rasakan saja kekosongan itu. Jangan buru-buru menambalnya dengan belanja online, traveling dadakan, atau binge-watching drakor. Duduklah sejenak, ajak hati ngobrol: "Heh, kamu kenapa?"
Ki Ageng menyebut langkah ini sebagai ngelmu bebrayaning urip---ilmu hidup bersosial dan berspiritual. Artinya, hidup ini bukan hanya soal aktivitas luar, tapi juga kepekaan batin. Ketika rasa tidak enak datang, jangan buru-buru diusir. Kadang rasa tidak nyaman itulah pintu pembuka untuk mengenal diri lebih dalam.
Misalnya begini: kita merasa jenuh dengan rutinitas. Lalu muncul pikiran untuk resign, pindah kota, atau ganti pasangan (ups!). Tapi kalau kita berhenti sejenak, dan mendengar rasa itu dengan jujur, bisa jadi masalahnya bukan pada pekerjaannya, melainkan kita kurang bersyukur. Atau kita sedang kehilangan makna dari hal-hal kecil yang dulu membuat kita tersenyum.
Ketika Dunia Tak Lagi Menggetarkan, Maka Kembalilah ke Dalam