Bayangkan kamu baru saja lulus kuliah. Ijazah sudah di tangan, semangat masih menyala, dan dunia kerja tampak seperti taman bermain yang menunggu dijelajahi. Tapi, tiga bulan berlalu, belum ada panggilan. Enam bulan, tinggal harapan. Setahun, akhirnya kamu akrab dengan kata yang dulu terasa jauh: pengangguran.
Masalah pengangguran bukan sekadar statistik atau tema seminar kampus. Ini soal perut yang harus diisi, tagihan yang terus datang, dan mental yang pelan-pelan digerus rasa tidak berguna. Di Indonesia, jutaan orang---terutama generasi muda---menghadapi dilema ini setiap hari. Bukan karena mereka malas atau tidak kompeten, tetapi karena pasar kerja yang tak sebanding dengan jumlah pencari kerja, ditambah dunia yang berubah terlalu cepat.
Pengangguran: Bukan Sekadar Tidak Bekerja
Pengangguran itu ibarat kutub es: yang terlihat hanya sedikit di permukaan, tapi di bawahnya tersembunyi gunungan persoalan. Ada pengangguran terbuka---yang memang tidak punya pekerjaan sama sekali. Ada pengangguran terselubung---yang bekerja tapi tak sesuai kemampuan, atau dibayar sangat minim. Lalu ada pengangguran intelektual---lulusan sarjana yang kerja serabutan atau malah menganggur karena bidang ilmunya tidak terserap pasar.
Masalahnya, sistem pendidikan kita masih banyak mencetak lulusan berdasarkan teori, bukan kebutuhan industri. Jurusan penuh, lapangan kerja sepi. Ironi. Di sisi lain, revolusi industri 4.0 dan otomatisasi membuat beberapa jenis pekerjaan punah sebelum sempat dicoba.
Bertahan Hidup: Strategi Anak Muda Masa Kini
Namun, generasi sekarang bukan generasi yang mudah menyerah. Banyak yang beralih menjadi freelancer, content creator, reseller, atau bahkan petani digital. Lapangan kerja mungkin mengecil, tapi ruang kreatif justru melebar. Dunia digital membuka pintu yang dulu tertutup rapat bagi mereka yang tak punya modal besar.
Kita lihat misalnya, anak muda yang belajar desain grafis dari YouTube, lalu menawarkan jasa via platform seperti Fiverr atau Upwork. Ada juga yang mulai berjualan makanan rumahan via Instagram, atau menjadi dropshipper tanpa harus stok barang. Mereka ini bukan hanya bertahan hidup, tapi juga membalikkan nasib dari titik nol.
Namun tentu, tidak semua bisa atau mampu langsung beradaptasi. Butuh literasi digital, modal kuota, dan mental tahan banting. Tidak semua pengangguran punya itu. Maka di sinilah peran pemerintah dan komunitas sangat vital.
Mencari Solusi: Dari Sistemik hingga Pribadi